Tag: PT. Antam

  • Aktifitas Tambang Trimega Pasific Indonesia di Lokasi IPPKH Milik KMS 27 Dipertanyakan

    Aktifitas Tambang Trimega Pasific Indonesia di Lokasi IPPKH Milik KMS 27 Dipertanyakan

    KONAWE UTARA, SULTRAGO.ID – Sengketa tumpang tindih Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), antara 11 IUP dengan PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) tak kunjung selesai.

    Baru-baru ini, investigasi Forum Kajian Masyarakat Hukum dan Lingkungan (Forkam-HL) Sulawesi Tenggara (Sultra) menemukan, PT Karya Murni sejati 27 (KMS 27) masih melakukan aktifitas penambangan. Padahal, status hukum perusahaan tersebut seharusnya aktifitas pertambangan dihentikan.

    “Tindakan berani dan terkesan tidak taat hukum PT. KMS 27 patut di pertanyakan. Ada keanehan yang terjadi, bahwa aksi berani PT. KMS 27 tersebut diindikasikan ada kekuatan besar yang melingdungi kegiatan tersebut karena dengan leluasa melakukan penambangan bahkan penjualan ore nikel,” ucap Ketua Forkam-HL Sultra Agus Darmawan, Jumat (17/12).

    “Kami curiga ada permainan kotor atas aktifitas di lahan IPPKH PT. KMS 27. Untuk itu kami terus menelusuri hal itu dan melakukan investigasi lanjutan ke pihak KMS 27, hal luar biasa pun kami temukan bahwa aktifitas di lahan IPPKH PT. KMS 27 dilakukan oleh perusahaan lain tanpa ada konfirmasi atau perintah kerja dari perusahaan pemilik IUP tersebut,” ungkap Agus.

    Dikonfirmasi terpisah, Direktur PT. KMS 27 Soni menyampaikan, sampai saat ini IUP OP PT. KMS 27 masih berlaku, tidak ada satupun keputusan pemerintah atau putusan pengadilan yang mencabutnya.

    “Selama Mabes Polri menyatakan memberhentikan aktifitas PT. KMS 27, kami taat sampai saat ini dan kami tidak ada kegiatan Penambangan,” tegas Soni.

    Senada, Humas PT. KMS 27 Ihwan mengatakan, aktifitas penambangan di wilayah IPPKH miliknya dilakukan perusahaan lain, yaitu PT. Trimega Pasific Indonesia (TPI) yang diduga mendapatkan perintah kerja dari PT. Lawu Agung Mining (LAM).

    “Untuk itu, kami direksi managemen PT. KMS 27 melakukan pemalangan jalan houling masuk ke lokasi kami agar aktifitas tersebut terhenti, sebelum ada kejelasan siapa dan perusahaan apa yang memerintahkan untuk menambang di lokasi IPPKH perusahaan kami,” jelas Ihwan daat bertemu Kasat Reskrim Polres Konut serta perwakilan Antam dan TPI.

    “Saya hanya minta, siapa yang memerintahkan untuk bekerja di lahan IPPKH PT. KMS 27, karena kami tidak pernah mengeluarkan surat perintah kerja ke perusahaan tersebut. Jika ada yang bisa memberikan kejelasan siapa yang memerintahkan bekerja, silahkan beraktifitas,” pungkasnya.

  • Polemik Tambang Blok Mandiodo. Salah Siapa?

    Polemik Tambang Blok Mandiodo. Salah Siapa?

    Oleh: Ashari (Direktur Eksekutiv eXplor Anoa Oheo)

    Ketidak pastian status sengketa hukum tumpang tindih wilayah izin pertambangan antara PT. Aneka Tambang dengan sederet IUP swasta diantaranya PT. Wanagon Anoa Indonesia, PT. Hafar indotech, PT. Karya Murni Sejati 27, PT. Sriwijaya Raya, PT. Reski Cahaya Makmur, CV. Ana Konawe, PT. James Armando Pundimas, PT. Mugnhi, CV. Sangia Perkasa, dan PT. Avry Raya adalah sebagai bukti ketidak seriusan Pemerintah menangani persoalan pertambangan di Wilayahnya.

    Padahal sudah pernah dilakukan mediasi oleh Gubernur Sulawesi Tenggara yang dihadiri seluruh Forkopimda yang terkait, serta semua pihak-pihak perusahaan yang bersengketa, bahkan dihadiri langsung para direktur nya.

    Saat acara berlangsung dipaparkan pula kronologis permasalahan tumpang tindih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara. Dalam paparan itu disampaikan bahwa pada Blok Mandiodo terhitung keseluruhan wilayah konsesi IUP seluas 16.000 yang diklaim oleh PT. Aneka Tambang. Dari total luas tersebut, Kurang lebih 2.000 Ha terbit IUP oleh beberapa perusahaan swasta.

    Gubernur Sulawesi Tenggara menyimak dan mendengar serta menanggapinya dengan dingin. Dikatakan bahwa Pemerintah Sulawesi Tenggara akan mencoba menyampaikan persoalan ini ke Pusat. Di sela kesempatan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (KAJATI Sultra) juga memberikan pandangannya bahwa secara hukum persoalan ini sudah berlarut-larut tanpa ada penyelesaian sebab semua pihak merasa benar.

    Kesimpulan dari beberapa pembicara saat itu hanya menyampaikan saran agar pihak-pihak kiranya bisa bekerja sama, berinvestasi, serta berkontribusi dalam pembangunan di daerah terutama masyarakat sekitar tambang.

    eXplor Anoa Oheo yang juga mengikuti pertemuan saat itu di aula Rumah Jabatan Gubernur Sultra pada bulan Desember Tahun 2019 menanggapi bahwa, kegiatan tersebut sebatas seremonial saja tidak ada benang merah yang di hasilkan. Ketidakpastian inilah sehingga pihak yang berkepentingan merasa jenuh dan serba salah.

    Pertimbangan hukum itu penting namun jauh lebih penting andai kata stakeholder mengambil pertimbangan pada aspek sosial ekonomi. Rakyat butuh kerja untuk makan, masyarakat yang terdiri dari Desa Mandiodo, Tapuemea dan Desa Tapunggaya menggantungkan hidupnya di tambang, bisa mati jika tidak dikelolah.

    Pemerintah tidak tegas menjaga martabat kedaerahan, hanya bisa pasrah dan tutup mata, tidak punya nyali membela rakyat dan daerahnya. Sebenarnya ada formula yang baik. Normatifnya dalam pokok persoalan, ada 16.000 Ha lahan klaim PT. Antam dan 2000 Ha klaim yang dibagi-bagi beberapa perusahaan swasta yang juga didasari oleh IUP. Berarti PT. Antam masih memiliki lahan 14.000 Ha.

    Kami tidak berpihak kepada perusahaan siapa tapi setidaknya mendengar aspirasi masyarakat di sekitar tambang itu jauh lebih penting. Sebab dari tahun 2011 hingga kini tambang swasta lah yang banyak memberikan kontribusi riil perputaran ekonomi masyarakat setempat.

    Terlihat pada perubahan sosial dan budayanya, banyak perubahan dan perkembangan. Meskipun juga di sisi penurunan kualitas lingkungan tak terbendung karena efek tambang jelas merubah bentang alam. Legal atau pun ilegal sama saja, tergantung kesadaran semua pihak baik yang melaksanakan pekerjaan maupun yang mengawasinya.

    Jauh berbeda dengan perusahaan plat merah PT. Antam. Hanya bisa jadikan lahan tidur bahkan tidak ada kepastian soal janjinya untuk dirikan pabrik kapan bisa terealisasi. Masyarakat butuh lapangan kerja dan butuh makan, bukan perdebatan hukum yang berkepanjangan lalu terjadinya kesenjangan sosial.

    Pasca Penindakan Lidik/Sidik yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta. Kurung waktu selama dua minggu pemeriksaan di lokasi tempat kejadian perkara (TKP), Saat itu pula Kampung Mandiodo dan Tapunggaya menjadi “Kota Hantu” bagaikan seusai tsunami menerjang, sepi, hening, bimbang, seketika masyarakat bingung kehilangan pekerjaan.

    Proses hukum mesti dijunjung tinggi dan sepatutnya juga kehidupan manusia perlu dipertimbangkan. Ratusan bahkan ribuan orang banyak yang bergantung hidup di sana terputus hanya persoalan dampak tidak adanya kepastian hukum itu sendiri.

    Contoh Kasus yang pernah di tangani oleh pihak Kepolisian Resort Konawe terkait penggunaan kawasan hutan. Dimana Perusahaan Perkebunan PT. Damai Jaya Lestari (DJL) terbukti telah mengalih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kasus ini di hentikan mengingat banyaknya kehidupan manusia yang bergantung nasib di dalamnya. Lalu apa bedanya dengan persoalan tambang Mandiodo. Jika itu salah, siapa yang mesti harus bertanggung jawab?

    Pasca penegakkan hukum oleh Mabes Polri, ini bukan pertama kali Mabes memeriksa tambang Mandiodo bahkan pernah melakukan penyegelan. Blok Mandiodo terbilang setiap tahunnya kedatangan tamu Mabes. Namun berbeda kali ini sangat berlangsung lama tak ada penyelesaian atau titik terang. Justru muncul kabar PT. Antam akan menambang dengan menggandeng perusahaan swasta.

    Kami akan monitor setiap perkembangannya. Jika informasi itu benar adanya, kami akan jemput pihak Antam dengan tatap muka pada saat sosialisasi nanti. Dan kami pastikan kebenaran akan datang dengan sendirinya, tentang apa dan motif apa. Inti dari semua persoalan, kami inginkan semua pihak tidak ada yang dirugikan.

  • PT. Antam Diminta dapat Bermitra dengan Pengusaha Lokal di Konut

    PT. Antam Diminta dapat Bermitra dengan Pengusaha Lokal di Konut

    KONAWE UTARA, SULTRAGO.ID – Dewan Pimmpinan Cabang (DPC) Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (ABMI) Konawe Utara (Konut) meminta PT. Aneka Tambang (Antam) Tbk dapat membangun kemitraan dengan oengusaha lokal, khususnya perusahaan bongkar muat (PBM).

    “PT Antam harus bersinergi dan memberikan support para pelaku usaha, baik jasa bongkar muat maupun usaha jenis lainnya. Sehingga kehadiran PT Antam benar-benar dirasakan manfaatnya bagi seluruh elemen masyarakat Konut,” ucap Ketua DPC APBMI Konut, Alfian Tajuddin, Rabu (27/9).

    Disebutnya, anggota APBMI tercatat mencapai puluhan PBM. Jika seluruh PBM diakomodir oleh Antam, kata Alfian, dipastikan serapan tenaga kerja meningkat dan mengurangi angka pengangguran.

    Pihaknya juga menyarankan agar PT Antam tidak menggunakan kontraktor luar. Sebab menurutnya, kontraktor lokal yang berdomisili di Konut dari segi sumber daya manusia dan sarana pendukung lainnya cukup mumpuni di bidang pertambangan.

    “Pelibatan kontraktor luar mestinya dihentikan agar melahirkan multi efek buat perekonomian Konawe Utara. Walaupun bagaimana saya pelaku sejarah dalam mempertahankan PT. Antam di Konut pada tahun 2011 yang lalu. Jadi wajar bila memberikan saran dan masukan pada manajemen PT Antam,” pungkasnya.

  • Tambang PT. Antam Di Konut, Menggaut Laba Dengan Siku

    Tambang PT. Antam Di Konut, Menggaut Laba Dengan Siku

    Oleh: Ashari (Direktur Eksekutif eXplor Anoa Oheo)

    Histori keberadaan investasi PT. Aneka Tambang (Antam) di kabupaten Konawe Utara sejak tahun 2005 hingga saat ini tidak signifikan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat dan daerah. Selalu mencari keuntungan besar tanpa melihat kearifan lokal dan bagaimana memikirkan daerah Konut yang merupakan daerah penghasil, bukan menjadi bumerang dengan dalih objek vital.

    Ibaratnya hanya sekedar membeli sayur di desa lalu menjualnya dengan keuntungan besar di kota. Betapa tidak, bendera PT. Antam Pomalaa berkibar di jazirah Bumi Oheo yang artinya projeknya di Konut tapi semua fasilitas dan mobilitas dipakai serba sewaan dari luar. Daerah konut sangat di rugikan mengingat ribuan hektar potensi kekayaan alam dikuasainya sangat jauh aset yang dimilikinya di Pomalaa hanya kisaran 600 Ha.

    Maka skema UBPN Antam jelas kami tolak. Wilayah kami mestinya menjadi pusat atau sentra investasi menuju keadilan dan pemerataan, bukan lalu masyarakat Konut sebagai penonton terbaik di daerah sendiri.

    Praktek BUMNisasi PT. Antam adalah persoalan yang mesti disuarakan dengan perlawanan oleh seluruh masyarakat Konut, terlebih lagi pemerintah daerah sebagai aparatur otoritas penyelenggaraan negara di daerah. Raport merah PT. Antam di Konut harus clear, tidak boleh berlarut-larut hanya karena regulasi yang rentan sebagai intervensi pusat yang tidak pro rakyat itu.

    Pertama, PT. Antam wajib tunaikan janjinya bangun smelter di Konut. Hal ini merupakan syarat dari pemerintah otonom saat itu sehingga PT. Antam mendapatkan persetujuan pemberian IUP prioritas. Tidak ada alasan untuk tidak bangun pabrik pemurnian.

    Dalam perjalanannya pernah melakukan peletakan batu pertama pada tahun 2011 termasuk pembebasan lahan masyarakat untuk kepentingan industri. Justru tidak ada keseriusan investasi Antam untuk mensejahterakan rakyat, apalagi kepentingan pembangunan di daerah.

    Investasi malu-maluin bisa dilihat kantornya saja statusnya sewaan rumah warga, pada sektor pemberdayaan semua unit bisnis dibawa masuk dari luar, pengangkatan pegawai tetap BUMN tidak ada orang Konut sampai sekarang. Masyarakat atau tenaga lokal mengemis dan dibuat kecewa berkaitan permohonan berbagai program kegiatan kepemudaan.

    Kedua, program Coorporate Social Responsibility (CSR), jangankan mau berjalan, sampai mengemis belum tentu dilaksanakan. Sunatan massal, pengadaan tas sekolah, hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dalam pelaksanaannya lebih utama dijadikan sebagai label branding seolah PT. Antam hadir berkontribusi. Begitu juga saat emergency, sembako Indomie Telur menjadi pemanis ketika terjadi bencana melanda Bumi Oheo.

    Ketiga, di mata Antam, Perusahaan Daerah (Perusda) Konut dianggapnya sebagai rival bisnis, bukan sebagai mitra. Pada lelang blok Matarape eks PT. Vale (Inco) terlihat lebih ambisi dikuasainya dengan menggandeng perusahaan swasta konglomerat. Ibarar gajah melawan semut, Perusda terseok-seok hingga dinyatakan tidak lulus. Padahal kesempatan itu daerah bisa mandiri mengelolanya.

    Miris dan keserakahan juga terjadi di blok Tapunopaka, label perusahaan plat merah dagangannya jual tanah air ke industri dalam negeri milik asing. Ironis lagi tuntutan para pemilik lahan untuk diselesaikan haknya, hanya sebatas janji. Bahkan lebih sadis lagi, ternyata bukan janji penyelesaian lahan, justru PT. Antam menggugat secara hukum.

    Keempat, konsesi pertambangan PT. Antam menjadi lahan tidur dan selebihnya dijadikan praktek tambang ilegal oleh sejumlah perusahaan swasta. Ditpiter Reskrim Mabes Polri berhasil menemukan dan menyita beberapa barang bukti yang berasal dari wilayah konsesi IUP milik PT. Antam pada blok Lalindu dan Marombo. Hal itu menunjukkan bahwa ada keterlibatan oknum pemerintah dan petinggi yang melindunginya serta terkesan pembiaran oleh oknum pihak Antam untuk kepentingan pribadi.

    Ketidak pastian sengketa hukum tumpang tindih wilayah izin antara Antam dengan perusahaan swasta pada blok Mandiodo berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Akibatnya juga ditambang oleh belasan IUP dengan alasan sudah mengajukan materi review hukum kepada pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, termasuk pengajuan ke pihak Dinas ESDM terkait permintaan legitimate dokumen perizinan RKAB, CNC, IPPKH, dan sebagainya.

    Walaupun tidak mendapat respon dari pihak-pihak institusi terkait diatas, seolah kegiatan penambangan pada blok Mandiodo dibiarkan berjalan, tutup mata, dan tidak ada perintah iya atau pun tidak, mengingat banyak kehidupan manusia juga yang bergantung hidup terkhusus masyarakat di sekitar tambang. Sekali pun itu alasan klasik, faktanya di lapangan memang benar dan itu yang terjadi.

    Kampung Mowundo, Mandiodo, dan Tapunggaya saat ini seperti kedatangan zombie dan terlihat seperti mati suri sebagai akibat berhentinya kegiatan pertambangan. Totalitas ditunjukkan adanya pemeriksaan Lidik/Sidik yang dilakukan oleh Ditpiter Reskrim Mabes Polri. Terlihat plan larangan Mabes Polri terpampang, begitu juga dengan masyarakat setempat memasang spanduk bertuliskan “Rakyat Butuh Makan”.

    Hal demikian menjadi gambaran bahwa sengketa konsesi lahan tambang pada blok Mandiodo, “Hukum” bukan solusi. Sepatutnya tim Ditpiter Reskrim Mabes Polri tidak serta merta tergesa-gesa melakukan penegakan di lapangan.

    Mengingat pada bulan Desember tahun 2020 di gedung Rujab Gubernur, para Forkompinda Sultra telah dibicarakan bentuk penyelesaian sengketa pada blok Mandiodo. Hasil berita acara tersebut telah disepakati bersama untuk menarik benang merah.

    Saat pertemuan itu di hadiri oleh gubernur, Kapolda Sultra, Ketua DPRD Sultra, Dandim/Danrem, Kajati Sultra, Kabinda Sultra, Bupati Konut, Kapolres Konut, LSM eXplor Anoa Oheo (mewakili), dan instansi terkait lainnya dan juga hadir beberapa direktur pejabat penting PT. Antam termasuk direktur masing-masing perusahaan swasta.

    Pada prinsipnya, dinamika persoalan PT. Antam di Konut tidak ada kata lain selain menolak kehadiran investasinya di Konut.

    Banyak kebohongan “Pakulibiri” PT. Antam yang mesti diclearkan. Harapan besar kami adalah penuhi dulu tuntutan masyarakat dan daerah Kabupaten Konawe Utara. Jika tidak, selegal apapun yang dilakukan, sejengkal tanah yang kau garap pun itu, hukumnya tetap haram.

  • Dugaan Korupsi Penjualan dan Proyek Gagal Smelter PT. Antam Bakal Dilapor ke KPK dan Mabes Polri

    Dugaan Korupsi Penjualan dan Proyek Gagal Smelter PT. Antam Bakal Dilapor ke KPK dan Mabes Polri

    JAKARTA, SULTRAGO.ID – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Pemuda Pertambangan Indonesia (HIPPI) akan melaporkan Direksi PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan penjualan hasil produksi bijih nikel melalui perusahaan trader atau tangan kedua.

    “Hal yang sangat janggal karena dipastikan ada keuntungan fee yang dikeluarkan kepada trader yang menjual biji nikel Antam ke IMIP dan Virtue Dragon. Harusnya direksi PT Antam bisa menjual langsung biji nikelnya sehingga keuntungan perusahaan manjadi maksimal,” ungkap Irvan Nadira Nasution, Ketua Advokasi, Hukum dan HAM DPP HIPPI melali siaran persnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

    Disebutnya, tiga perusahaan yang menjadi trader PT. Antam yaitu PT. Mineral Putra Prima (MPP) yang menjual ore nikel PT. Antam ke PT. OSS, VDNI dan SMI dengan kontrak 3 tahun untuk 1.880.000 MT. Kemudian PT. Ekasa menjual ore nikel PT. Antam ke OSS, dan SMI dengan kontak 3 tahun sebesar 1.880.000 MT, serta PT. Satya Karya Mandiri) dengan kontrak 3 tahun untuk 4.000.000 MT.

    Pihaknya juga menduga, praktek penjualan bijih nikel melalui perusahaan trader yang dilakukan Direksi PT. Antam berkaitan dengan belum selesainya pembangunan Pabrik Feronikel Halmahera Timur (P3FH) PT. Antam. Padahal, kata Ivan, konstruksi pabrik itu sudah mencapai 97 persen sejak 2019 lalu. Namun pengoperasian smelter itu masih terus terganjal pasokan listrik.

    Untuk itu, pihaknya akan melakukan aksi demontrasi untuk meminta KPK dan Mabes Polri segera melakukan audit menyeluruh dengan memeriksa dan menyelidiki kasus jual beli biji nikel PT. Antam yang melalui trader PT. MPP, PT. SKM, dan PT. Ekasa yang diduga merugikan PT. Antam triliunan rupiah.

    Selain itu, DPP HIPPI juga akan meminta KPK dan Mabes Polri memeriksa direksi PT. Antam diantaranya Direktur Utama, Direktur Niaga, Direktur Keuangan, serta direktur ketiga perusahaan trader tersebut.

    “Kami juga meminta KPK dan Mabes Polri segera audit dan menyelidiki proyek gagal smelter PT. Antam
    di Halmahera Maluku,” pungkasnya.

    Sebelumnya, praktek penjualan bijih nikel yang dilakukan PT. Antam juga mendapat sorotan dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Sekretaris Jendral (Sekjen) APNI, Meidy Katrin Lengkey menilai, PT. Antam yang memiliki banyak cadangan bijih nikel harusnya mampu membangun pabrik sendiri.

    “Antam punya cadangan yang besar, seharusnya Antam membangun pabrik sendiri seperti Harita yang punya tambang besar tapi tidak menjual ore, bangun pabrik sendiri, bahkan mengakomodir penambang lain untuk suplai ore ke Harita,” kata Meidy keoada media ini, Rabu 4 Agustus 2021.

    Menurutnya, besarnya cadangan bijih nikel yang dimiliki juga dapat memungkinkan PT. Antam untuk memonopoli pengadaan bahan baku ke smelter. Sehingga hal tersebut dapat merugikan para penambang lokal lainnya yang memiliki cadangan tidak sebesar PT. Antam.

    “Kalau PT. Antam memonopoli pengadaan bahan baku ke smelter, mending IUP yang lain dicabut saja semua dan diganti jadi nama Antam semua,” tuturnya.

    Untuk diketahui, PT. Antam merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menargetkan total produksi bijih nikel sebesar 8,44 juta WMT pada tahun ini, naik 77% dari realisasi produksi di tahun sebelumnya sebesar 4,76 juta WMT. Peningkatan target penjualan bijih nikel tersebut seiring dengan outlook pertumbuhan industri pengolahan nikel dalam negeri. Adapun dua pembeli terbesar bijih nikel domestik Antam adalah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Virtue Dragon Nickel Industry (IMIP).