Kabupaten Konawe Kepulauan kaya akan sumber daya alam namun belum dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Mulai dari air terjun, makau (mangrove) yang cukup luas, puncak, danau, hingga permandian air panas yang sampai saat ini belum belum dimanfaatkan sebagai wisata yang tentunya dapat menjadikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Perlunya sumber rantai pasok dan ekosistem pariwisata, sehingga desa perlu penguatan kualitas, kapasitas dan pemberdayaannya agar lebih berkembang dan memiliki daya saing. Selain sebagai produsen logistik, beberapa diantaranya dapat dijadikan Desa Wisata, karena memiliki keunikan dari sisi lanskap, budaya, tradisi, dan lain-lain, yang dapat ditawarkan untuk tujuan wisata.
Kehadiran Desa Wisata memberikan angin segar, menjanjikan penghidupan baru buat masyarakat desa yang memberikan dampak positif terhadap lingkungan alam, budaya dan masyarakat sekitar, namun datangnya wisatawan dengan membawa budaya yang berbeda dapat mempengaruhi budaya lokal yang ada.
Pemberdayaan Masyarakat melalui Desa Wisata, kiranya dapat menanggulangi kemiskinan masyarakat melalui sektor pariwisata, dengan strategi mengembangkan usaha-usaha terkait jasa kepariwisataan, dan pembangunan sarana-prasarana pendukung yang berbentuk fisik, pelestarian kearifan lokal, tradisi budaya, kekhasan daerah dan pelatihan manajemen pariwisata yang berbentuk nonfisik.
Selanjutnya, tahapan pengembangan Desa Wisata yaitu Desa Rintisan, Desa Berkembang, Desa Maju dan Desa Mandiri, yang mana standarnya mengacu pada Asean Community Based Tourism, Standard yang meliputi kepemilikan dan manajemen, kontribusi terhadap kesejahteraan sosial, konservasi dan pengembangan lingkungan, mendorong interaksi komunitas lokal dan tamu, kualitas pelayanan pemanduan wisata, kualitas pelayanan makanan dan minuman, kualitas akomodasi, dan kinerja pemandu wisata.
Isu kritis Desa Wisata yaitu rentan terhadap duplikasi karena pembedanya mudah ditiru, kurang mampu mengeksplorasi kearifan lokal sebagai penguat, eksploitasi sumber daya berlebih yang kurang memperhatikan berkelanjutan, dan potensi masuknya investor yang dapat membuat masyarakat menjadi objek. Sedangkan tantangan utama Desa Wisata yaitu kesiapan masyarakat terkait kepemimpinan dan soliditas serta produk wisatanya yang inovatif dan kemitraan.
Untuk itu, perlunya pemberian materi dan dukungan Pemerintah Daerah kepada masyarakat terkait pengembangan desa wisata yang tidak hanya sekedar kata namun dengan aktualisasi.
Desa Wisata dalam tataran konsep, harus mampu mengenali potensi yang ada, mengeksplorasi kekhasan untuk dijadikan kekuatan, dan membuat produk orisinil yang tidak mudah diduplikasi ditempat lain. Selain itu, dijadikan tempat learning space bagi wisatawan, khususnya terkait belajar tentang kearifan lokal, aktifitas masyarakat desa dan lingkungan alam. Spot-spot untuk interaksi perlu diciptakan untuk memberikan experience, selama mereka berada di Desa Wisata.
Dalam operasionalisasi Desa Wisata, harus dikelola secara efektif, efisien, dan transparan terkait dengan pemilihan pengurus, peran dan tanggung jawab yang terstruktur, pengoperasian sesuai perundang-undangan, mengacu persamaan gender, berprinsip social inclusif, bermartabat, dan aspek finansialnya dilakukan secara wajar.
Agar konsistensi terjaga didalam implementasinya, perlu dibuat standard operating procedure (SOP), terkait dengan pemeliharaan budaya, nilai-nilai tradisi, lingkungan, dan lain-lain.
Sumber daya Manusia sebagai pelaku usaha, harus dapat memberikan kenyamanan kepada wisatawan dengan memberikan fasilitas dan pelayanan terabik agar wisatawan merasa betah serta nyaman untuk tinggal. Dalam hal ini, kapasitas dan kualitas produk-produk wisata harus disesuaikan dengan standar internasional, untuk itu perlu dilakukan pelatihan SDM terkait dengan hospitality, penguatan produk dan kemasan, pendidikan, seminar, workshop, benchmark, dll.
Pemasaran dilakukan melalui media digital, yaitu: website, sosial media, ataupun marketplace, yang mana dalam situasi sekarang lebih mengutamakan pangsa pasar wisatawan nusantara, termasuk kelas menengah dan atas yang terbiasa berwisata keluar negeri, mereka merupakan potensial market yang luar biasa.
Perlu dikembangkan story telling sesuai konsep Desa Wisata, ini akan menjadi penguat, karena cerita akan lebih mudah diingat oleh wisatawan. Pembuatan paket-paket yang melibatkan homestay, kegiatan budaya seperti latihan menari, aktivitas lokal bercocok tanam, pembuatan souvenir, dan berbagai aktivitas lainnya, akan meningkatkan length of stay wisatawan. Materi promosi, diutamakan tentang keindahan alam desa, kearifan lokal, spot-spot interaksi, dan interest lainnya.
Perlu dikembangkan story telling sesuai konsep Desa Wisata, ini akan menjadi penguat, karena cerita akan lebih mudah diingat oleh wisatawan. Pembuatan paket-paket yang melibatkan homestay, kegiatan budaya seperti latihan menari, aktivitas lokal bercocok tanam, pembuatan souvenir, dan berbagai aktivitas lainnya, akan meningkatkan length of stay wisatawan. Materi promosi, diutamakan tentang keindahan alam desa, kearifan lokal, spot-spot interaksi, dan interest lainnya.
Adanya Desa Wisata, dapat dijadikan alternatif nilai tambah, variasi dan penyebaran wisatawan, serta menggeliatkan ekonomi masyarakat desa, sesuai dengan harapan pemerintah. Pada akhirnya Desa Wisata tidak hanya sebagai rantai pasok saja, namun mampu mendukung, menambah length of stay wisatawan, serta menggeliatkan industri pariwisata.
KONAWE KEPULAUAN, SULTRAGO.ID – Program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) yang dicanangkan oleh organisasi konservasi internasional, Rare Indonesia bersama Dinas Perikanan telah hadir di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepalauan (Konkep) sejak awal tahun 2019.
Dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Akses Area Perikanan (RPAAP) Wawonii tercatat usulan kawasan PAAP mencakup 47 desa yang tersebar di Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Utara dan Wawonii Timur Laut. Terdapat 17.284 jiwa penduduk di usulan kawasan PAAP yang terdiri dari 368 orang nelayan dan 150 rumah tangga perikanan.
PAAP disosialisasikan di Wawonii sejak awal tahun 2019, kemudian terbentuk kelompok PAAP pada 13 Februari 2019. Kelompok yang menghimpun nelayan kecil dan nelayan tradisional di tiga kecamatan itu pun resmi memiliki akta notaris pada 3 Februari 2020.
Tujuan program PAAP di Wawonii adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Kemudian meningkatkan peran serta kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat untuk pengelolaan perikanan. Namun, selama tiga tahun berjalan, pelaksanaan program ini nampaknya belum berdampak signifikan terhadap perekonomian nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Sebagaimana diungkapkan Rustam (47), salah seorang nelayan di Desa Langara Tanjung Batu Kecamatan Wawonii Barat. Nelayan yang masuk dalam kelompok nelayan PAAP ini mengatakan, aktivitas dan pendapatannya sebagai nelayan tangkap masih sama sebelum dan sesudah adanya program PAAP. Ia yang didampingi isterinya Nanni (43) setiap hari berangkat melaut dari pukul 06.30-11.00 Wita itu memperoleh pendapatan Rp200 hingga Rp500 ribu dari hasil tangkapannya.
Kendati demikian, nelayan yang sehari-hari melaut menggunakan perahu motor 3GT berkapasitas tiga orang dengan konsumsi 5 liter solar ini mengatakan, keberadaan program PAAP setidaknya telah menambah pengetahuan dirinya terkait aturan penangkapan berkelanjutan bagi nelayan kecil.
Rustam (47) dan Nani (43), keluarga nelayan kecil di Desa Langara Tanjung Batu, Kecamatan Wawonii Barat, Konkep. (Foto: Amal).
“Fokus pada dampak ekonomi, sejauh ini masih sama saja dengan sebelum PAAP dibentuk. Karena memang selama tiga tahun ini PAAP masih dalam tahapan sosialisasi,” kata pria yang sudah 17 tahun menjadi nelayan di Wawonii Barat ini, Selasa 30 Agustus 2022.
Ayah dengan satu orang anak ini mengatakan, kendala yang dihadapi saat ini yaitu masih maraknya aktivitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Hal ini dianggap mengganggu aktivitas penangkapannya sebagai nelayan tradisional yang hanya menggunakan alat tangkap berupa rawai, bubu dan pancing.
“Saya berharap semoga kedepan PAAP mampu dan mempunyai legalitas terkait pengawasan nelayan terutama yang menggunakan bom untuk menangkap ikan agar di amankan kepada pihak yang berwajib. Minimal PAAP bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwewenang dengan itu,” ujar Rustam.
Sementara itu, Ketua Kelompok PAAP Wawonii, Muhammad Fahri menjelaskan, saat ini kelompok PAAP Wawonii memiliki 30 orang anggota aktif yang tersebar di tiga kecamatan. Sejak terbentuk, kelompok ini aktif melakukan sosialisasi serta edukasi kepada nelayan kecil dan tradisional terkait penegakan aturan tentang penagkapan ikan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kegiatan penyusunan Perberkades untuk mendukung program PAAP di Wawonii. (Foto: Dokumen Dinas Perikanan Konkep).
“Hampir setiap bulan itu kita sosialisasi baik melalui media sosial, cetak berupa baliho dan spanduk, iklan video pendek serta sosialisasi langsung ke masyarakat dengan mengadakan pertemuan ditiap wilayah. Terakhir kami ada pertemuan di kantor bupati, kami telah membuat dan menandatangani kesepakatan bersama untuk membuat Peraturan Bersama Kepala Desa atau Perberkades bersama seluruh stakeholder, yaitu pemda dalam hal ini dinas perikanan, para kepala desa, babinsa, babinkamtibmas serta para pemangku kebijakan,” kata Fahri, Senin 29 Agustus 2022.
Ia mengungkapkan, nelayan kecil dan tradisional di Wawonii melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap berupa rawai, bubu serta pancing. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kegiatan pasca penangkapan lebih dominan dilakukan oleh perempuan, mulai dari mengambil ikan di perahu, menyeleksi dan menjual hasil tangkapan serta mengolah ikan yang tidak habis terjual menjadi ikan asin atau ikan kering.
Rata-rata pendapatan keluarga nelayan tangkap dari aktivitas tersebut, kata Fahri, sebesar Rp200 sampai Rp500 ribu per hari, dan hal itu tidak dipengaruhi oleh keberadaan PAAP.
“Kondisi ekonomi nelayan itu masih sama saja sebelum dan sesudah adanya PAAP, karena memang kita masih pada tahap sosialisasi dan mengedukasi masyarakat nelayan,” Fahri menambahkan.
Kegiatan penyusunan dokumen RPAAP Wawonii. (Foto: Dinas Perikanan Konkep).
Berbagai hambatan yang dihadapi diantaranya, wilayah PAAP di Wawonii mencakup tiga kecamatan sehingga masih sulit diakses secara menyeluruh. Hambatan terbesar adalah kurangnya kesadaran masyarakat nelayan dalam melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan.
“Masih banyak masyarakat nelayan yang melakukan illegal fishing. Kalau kita menyampaikan program ini, ada masyarakat yang menerima dan ada juga yang tidak mau menerima, sebab masyarakat kita disini sudah terbiasa dengan hal-hal yang instan seperti menangkap ikan dengan bom, racun dan cara-cara merusak lainnya,” kata Fahri.
Fahri menyadari, perjuangannya bersama kelompok PAAP untuk memberikan dampak posotif terhadap perekonomian nelayan kecil memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun ia meyakini, program ini dalam jangka panjang mampu mengatasi akar permasalahan pengelolaan perikanan, diantaranya penangkapan ikan yang merusak (illegal fishing), persaingan dengan nelayan luar, konflik pemanfaatan sumber daya ikan, pemasaran hasil perikanan, serta lemahnya penegakkan aturan.
Ia mengungkapkan, saat ini PAAP Wawonii telah menyusun dokumen RPAAP yang yang memuat tujuan dan strategi sebagai pedoman dalam melaksanakan pengelolaan perikanan untuk mencapai tujuan meningkatkan pendapatan nelayan kecil dan tradisional. Diantaranya, meningkatkan ketaatan dalam penerapan aturan yang ada di PAAP dan peraturan perundang-undangan perikanan yang berlaku melalui kegiatan sosialisasi kepada seluruh nelayan dan masyarakat di kawasan serta meningkatkan partisipasi semua stakeholder dalam penerapan aturan.
Kemudian, meningkatkan SDM nelayan (laki-laki dan perempauan) melalui kegiatan pelatihan kewirausahaan, pelatihan literasi keuangan, pelatihan pengolahan serta pelatihan pengembangan kelompok. Selain itu, meningkatkan nilai tambah ekonomi perikanan melalui kegiatan pengolahan ikan, melakukan pemasaran ikan yang sederhana melalui pemasaran ikan yang terorganisir oleh lembaga dan langsung melakukan kerjasama dengan pembeli keluar daerah.
Untuk itu, pihaknya berharap dukungan penuh dari semua pihak, baik pemerintah daerah, aparat penegak hukum serta seluruh masyarakat khususnya nelayan di Wawonii agar kegiatan-kegiatan PAAP dapat berjalan dengan baik. Termasuk tumbuhnya kesadaran dari masyarakat nelayan dalam pemanfaatan sumber daya laut secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Harapannya, semua program PAAP dapat berjalan dengan baik, sehingga apa yang diharapkan yaitu bagaimana pemafaatan sumber daya laut itu ramah lingkungan, hasil tangkapan masyarakat mencukupi untuk menopang pendapatan yang layak bagi nelayan kecil dan nelayan tradisional,” harapnya.
Fungsional Perencana Dinas Perikanan Konkep, Aris Laria.
Senada, Fungsional Perencana Dinas Perikanan Konkep, Aris Laria menilai dampak keberadaan PAAP belum dirasakan oleh nelayan kecil dan nelayan tradisional di Wawonii. Pasalnya, selaku tim implelentasi, pihaknya masih fokus pada sosialisasi pengenalan program di masyarakat nelayan.
Selain keterbatasan dalam hal kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan, kendala terbesar dari penerapan PAAP ini adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat nelayan itu sendiri, dimana masih banyak aktivitas penangkapan yang dilakukan masih menggunakan cara-cara yang merusak.
“Ini memang membutuhkan perhatian lebih serius baik dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten, aparat penegak hukum, maupun dari Rare Indonesia. Sebab kendala terbesar kami disini itu bagaimana merubah pola pikir masyarakat kita, dan itu tidak semudah membalik telapak tangan,” tutur Aris.
Kunjungan Tim Jurnalis Fellowship Program PAAP di Kantor Dinas Perikanan Konkep.
Program Implementasi Associate Rare Indonesia, Tarlan Subarno mengatakan, secara umum tujuan hadirnya program PAAP adalah mendorong konservasi wilayah laut dan perikanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, kebijakan tata kelola dan pendanaan berkelanjutan. Program ini diharap dapat memberikan banyak manfaat bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir pada umumnya.
Di Sultra, program PAAP telah berjalan sejak 2017 dengan 11 kabupaten pesisir sebagai sasaran implementasi program. Provinsi ini sekaligus menjadi pilot project perdana mitra implementasi PAAP oleh Rare Indonesia. PAAP mengedepankan pentingnya mengelola ekosistem secara holistik agar jasa lingkungan dapat terjaga dengan baik.
Dalam pelaksanaannya, program PAAP ini sendiri mendorong masyarakat pesisir membentuk kelompok, membuat kawasan larang ambil, mendefinisikan kawasan memancingnya, melakukan kegiatan penjangkauan dan melaksanakan kampanye perubahan perilaku.
Rare Indonesia menyadari bahwa keberhasilan program tidak luput dari pemahaman yang tepat dari berbagai pemangku kepentingan agar dapat mendorong pengarusutamaan PAAP sebagai pendekatan pengelolaan perikanan skala kecil di Sultra.
Khusus di Pulau Wawonii, belum dirasakannya manfaat dari program PAAP diakuinya karena ada beberapa kendala yang dihadapi, diantaranya masih sulit untuk menyatukan semua stakeholder agar bergerak bersama melakukan pengelolaan sesuai perannya masing_masing. Kemudian kondisi geografis yang cukup luas membuat penyampaian informasi ke masyarakat masih jadi kendala.
“Sertaintegrasi kegiatan pada rencana kerja pemerintah juga masih jadi kendala tapi pelanpelan sudah mulai ditemukan simpul-simpul irisannya,” kata Tarlan. Ia mengatakan, langkah yang akan terus dilakukan Rare agar program ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Wawonii yakni mensupport pemerintah untuk penguatan kapasitas kelompok masyarakat (PAAP) agar dapat menjalankan rencana PAAP, kemudian mendorong kampanye perubahan perilaku agar makin banyak nelayan/pengguna sumber daya yang mengetahui dan merubah kebiasaan menangkap ikannya, agar lebih ramah lingkungan dan memperhatikan keberlanjutan.
Hal ini juga dilakukan agar kondisi sumberdaya berangsur pulih. Sebab, jika ketersediaan ikan bisa dipertahankan atau ditingkatkan maka sumber mata pencaharian nelayan bisa tetap dipertahankan, kalau stok ikan meningkat maka harapannya jumlah tangkapan juga meningkat, secara tidak langsung juga akan meningkatkan penghasilan nelayan.
“Pendeknya dengan PAAP untuk mempertahankan/meningkatkan stok sumberdaya ikan supaya mudah ditangkap oleh nelayan. Ada juga rencana mensupport/memfasilitasi lahirnya kebijakan-kebijakan baru di tingkat Kabupaten Konkep agar menjadi rujukan pengarusutamaan sektor kelautan dan perikanan untuk pembangunan ke depan. Ini sesuai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainabledevelopmentgoals,” Tarlan memungkas.
Untuk diketahui, di wilayah PAAP Wawonii sebelumnya telah terbentuk organisasi masyarakat baik Koperasi Nelayan, Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Pengolah Ikan, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Koperasi Nelayan terdapat di Kelurahan Langara Laut Kecamatan Wawonii Barat, pengolah ikan ada di Desa Langara Tanjung Batu Kecamatan Wawonii Barat sedangkan KUB dan BUMDES tersebar di hampir setiap desa. Hal ini akan menjadi fokus dalam program PAAP Wawonii sehingga dapat berkontribusi pada perekonomian masyarakat nelayan khususnya nelayan kecil dan nelayan tradisional.
KONAWE KEPULAUAN, SULTRAGO.ID – Di Pulau Wawonii tepatnya di Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) nampak berjejer rumah-rumah panggung di sepanjang pesisir. Hampir setiap rumah terlihat perahu motor kecil (3T) berbahan kayu dengan kapasitas tiga sampai lima orang itu terparkir di sisi belakang dan kiri atau kanan rumah warga.
Melihat pemandangan perahu dengan beragam warna itu, sekilas orang akan langsung dapat menerka bahwa hampir semua warga di wilayah pesisir sehari-hari beraktivitas sebagai nelayan.
Jika dilihat dari ukuran perahunya, dapat disimpulkan bahwa mereka merupakan nelayan kecil. Apalagi alat tangkap yang digunakan pun masih tergolong tradisional, yaitu rawai, bubu dan pancing. Sehingga hasil yang diperoleh pun terbilang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Rumah-rumah panggung nelayan kecil di peisisir Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Foto: Amal)
Menariknya, aktivitas menangkap ikan di Pulau Kelapa ini tidak hanya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, hampir semua ibu rumah tangga terlihat berperan aktif membantu pendapatan keluarga, baik dengan mendampingi suami melaut atau hanya sekedar mengelola dan menjual hasil tangkapan.
Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di masa pra-panen dan pasca-panen juga tergolong cukup banyak, mayoritas perempuan nelayan bekerja lebih dari 17 jam dalam sehari dan sayangnya pekerjaan tersebut tidak diketahui.
Pekerjaan pra-panen bervariasi dari memperbaiki jaring, menyiapkan makanan dan logistik sebelum melakukan perjalanan. Sementara itu, kegiatan pasca-panen meliputi penanganan ikan, pengolahan hasil tangkapan hingga pemasaran ikan. Perempuan juga memainkan peran penting dalam rantai ekonomi perikanan melalui pembiayaan armada, pencatatan hasil tangkapan ikan serta pemasaran hasil tangkapan ikan.
Aktivitas istri nelayan saat menjemput hasil tangkapan ikan suami.(Foto: Amal).
Seperti yang dilakukan Nanni (43), warga Desa Langara Tanjung Batu, Kecamatan Wawonii Barat. Ibu dengan satu orang anak ini tidak ingin membebankan usaha memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya hanya dilakukan oleh suaminya Rustam (47) seorang. Setiap hari ia akan bangun lebih awal sebelum matahari terbit untuk mempersiapkan kebutuhan keluarga dan perlengkapan suami mengarungi lautan.
Selama dua tahun terakhir, ia selalu menemani Rustam mengayuh perahu mencari ikan dari pukul 06.30 wita sampai pukul 11.00 wita. Setelah itu, Nanni akan memilah hasil tangkapan untuk dijual ke pasar, sedang sebagian sisanya akan ia masak untuk keluarga. Aktivitas ini rutin dilakukan setiap hari.
“Penghasilan kadang kurang, kadang juga penghasilan kisaran Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per hari, tergantung cuaca dan rejeki,” kata Nanni, Selasa 30 Agustus 2022.
Upaya perempuan dalam menopang ekonomi keluarga juga dilakukan oleh Herlina (40), istri dari seorang nelayan yang juga tinggal di pesisir Desa Langara Tanjung Batu, Kecamatan Wawonii Barat. Herlina juga bercerita ihwal aktivitas yang biasa lakukan di pantai tersebut dan biasa ia lakukan sehari-hari.
Selain membantu suaminya Dahlan (36) menyiapkan perlengkapan melaut, ibu dari dua orang anak ini setiap harinya membuat makanan siap saji yang kemudian dijual melalui paltform media sosial berupa Facebook (FB). Melalui platform digital ini ia juga mejual hasil budidaya lobster sang suami.
Aktivitas istri nelayan saat menjemput hasil tangkapan ikan suami.(Foto: Amal).
“Saya beli ikan dan beberapa sayuran mentah, kemudian dimasak, selanjutnya dijual. Dalam sehari melalui penjualan ikan dan sayur, bersihnya saya dapat Rp 150 ribu per satu hari,” ujar Herlina.
“Kalau ada hasil tangkapan ikan dari suami, itu selain dikonsumsi untuk keluarga sendiri, saya jual mentah pertusuk,” ia menambahkan.
Selain menjual makanan, di waktu luang Herlina sering melakukan “meti-mati” alias mencari jenis biota laut seperti kerang yang dapat menjadi santapan di pinggiran pantai saat air laut mulai surut. Bahkan kerang tersebut dijual demi menambah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rata-rata para istri nelayan di Wawonii melakukan hal yang sama untuk membantu menopang perekomomian keluarga. Begitu halnya Linsah (49), istri dari Aco Salam (54), nelayan yang tinggal di Desa Langkowala, Kecamatan Wawonii Barat yang sehari-hari berperan menjual hasil tangkapan suami dan mencari kerang saat air laut surut.
Namun, berbeda dengan istri-istri nelayan pada umumnya, ternyata Lisnah juga berjuang untuk meningkatkan perekonomian keluarga nelayan kecil di lingkungan tempat tinggalnya. Usaha itu ia lakukan melalui kelomopok program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Wawonii sejak 2019.
Kegiatan penyusunan dokumen RPAAP Wawonii.(Foto: Dok. Dinas Perikanan Konkep).
Sebagai Kepala Divisi Pengenmbangan Ekonomi, Usaha Produktif dan Pemberdayaan Perempuan kelompok PAAP Wawonii, Lisnah aktif mengedukasi keluarga nelayan kecil dan nelayan tradisional terkait visi PAAP dalam meningkatkan pendapatan nelayan melalui kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pihaknya juga telah merancang beberapa program untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) nelayan baik laki-laki maupun perempauan, melalui kegiatan pelatihan kewirausahaan, pelatihan literasi keuangan, pelatihan pengolahan serta pelatihan pengembangan kelompok.
Selain itu, kelompok PAAP juga telah merancang program untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi perikanan melalui kegiatan pengolahan ikan, melakukan pemasaran ikan yang sederhana melalui pemasaran ikan yang terorganisir oleh lembaga, dan melakukan kerjasama dengan pembeli keluar daerah.
Ia mengungkapkan, saat ini PAAP Wawonii juga sudah mengajukan proposal bantuan kepada Rare Indonesia untuk pembuatan pabrik es mini yang akan menjadi sarana usaha bersama keluarga nelayan kecil di Wawonii.
“Saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam PAAP berinisiatif untuk membuat perkembangan ekonomi sosial di masyarakat melalui pengajuan itu, sehingga ke depan dengan dasar penjualan es, kami bisa kembangkan lagi dengan penjualan berbagai jenis kebutuhan nelayan,” kata Lisna, Senin 5 September 2022.
Kegiatan sosialisasi Rare kepada Kelompok PAAP Wawonii terkait pembahasan jenis, ukuran dan jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap. (Foto: Dok. Dinas Perikanan Konkep).
Lisna meyakini, program PAAP dalam jangka panjang akan memberikan manfaat kesejahteraan bagi keluarga nelayan kecil dan tradisional. Karena itu, ia tidak ingin manfaat ini hanya dirasakan oleh nelayan yang tergabung di dalam kelompok PAAP, namun dapat dirasakan oleh seluruh nelayan khususnya nelayan kecil di Wawonii.
“Kita ingin melihat keberhasilannya kedepan, supaya bukan cuma kita di PAAP yang merasakan, tetapi semua keluarga nelayan kecil di Wawonii,” ujarnya.
Melalui kelompok PAAP, Lisna juga ingin menunjukkan bahwa perempuan mampu berkontribusi lebih serta terlibat aktiv memperjuangkan ekonomi keluarga dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Ia berharap, edukasi yang telah dilakukan serta program-program yang telah disusun mendapat dukungan penuh dari semua pihak. Sehingga, tujuan PAAP dalam mendorong peningkatan perekonomian keluarga nelayan kecil di Wawonii dapat tercapai.
“Semoga ke depan PAAP bisa lebih diberikan ruang untuk pengembangan ekonomi masyarakat pada umumnya, dan pada masyarakat nelayan pada khususnya,” Lisna memungkas.
KENDARI, SULTRAGO.ID – Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) gelar pelatihan relawan Kampung Siaga Bencana (KSB) di salah satu hotel di Kota Kendari, Selasa (20/9).
Pelatihan ini diikuti oleh pengurus relawan KSB dari masing-masing wilayah kabupaten dan kota di Sultra serta beberapa kepla desa.
Kepala Dinsos Sultra Martin Efendi Matulak menjelaskan, selain untuk mengevaluasi kegiatan KSB, pelatihan ini juga bertujuan meningkatkan pengetahuan relawan dalam penanggulangan bencana.
Pihaknya juga akan membentuk KSB di tiap kabupaten dan kota se-Sultra dengan melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi membantu Dinsos dalam penanggulangan bencana di wilayah masing-masing.
“KSB merupakan garda terdepan dalam penanganan bencana alam, karena KSB lebih dekat dan lebih tau apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kami hanya menyiapkan infrastruktur dan kebutuhan masyarakat, tetapi untuk berkomunikasi dengan masyarakat mereka lebih dekat,” ujar Martin.
Sementara itu, Ketua Panitia kegiatan pelatihan, Harsanto Nafsal mengungkapkan, saat ini masih ada beberapa daerah yang belum terbentuk KSB, diantaranya Kabupaten Wakatobi, Muna, Muna Barat, dan Buton Tengah.
“Kriteria pembentukan KSB mesti harus daerah daerah yang setiap tahun rutinitas bencana alamnya itu terjadi,” ujarnya.
“Pemerintah desa kedepannya jangan ragu ataupun takut mengeluarkan anggaran Dana Desa untuk korban bencana alam, karena hal tersebut telah diatur dalam Permendes Nomor 7 tahun 2021,” imbaunya.
KENDARI, SULTRAGO.ID – Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Halu Oleo (UHO) menggelar Webinar Nasional bahas Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Pemulihan Ekonomi Daerah, Selasa (20/9).
Webinar Nasional tersebut menghadirkan pembicara ekonom senior dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Abdul Madjid Sallatu, Kepala Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (BI) Sulawesi Tenggara (Sultra) Doni Septadijaya, dan Wakil Ketua Bidang Pasar Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Sultra Sastra Alamsyah.
Dekan FEB UHO Prof. Arifuddin Mas’ud menilai, isu terkait dampak kenaikan harga BBM terhadap perekonomian khususnya di daerah masi menjadi perdebatan. Hal itu terlihat dari ksi-aksi penolakan yang masih dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.
“Kami dari Fakultas Ekonomi menangkap isu ini dan harus dibahas secara formal, karena momen kenaikan harga BBM ini masih diperdebatkan, khususnya terkait efek kenaikan harga BBM ini terhadap perekonomian di daerah,” ungkap Prof. Arifuddin.
Ekonom senior Unhas, Abdul Madjid Sallatu menilai, kebijakan kenaikan harga BBM telah menyentuh langsung jantung perekonomian masyarakat di daerah. Dan dampaknya sangat dirasakan baik di sektor produksi maupun di sektor konsumsi.
Ekonom senior Unhas Abdul Madjid Sallatu.
Ia menjelaskan, dampak pada sektor produksi yaitu masyarakat kesulitan mengefisiensi ataupun mendorong tingkat produksi. Sedangkan di sektor konsumsi, masyarakat akan berhadapan dengan tingkat daya beli yang terbatas.
“Apa yang kita bisa simak dari keadaan seperti itu bahwa, jangan sampai ini akan semakin menimbulkan sosial unrest (gangguan di masyarakat), meskipun itu hanya sporadik, tapi kalau kita lihat, ini adalah suatu pertanda bahwa masyarakat kita sudah terancam pada keprihatinan hidup,” jekas Abdul Madjid.
Untuk itu, pengamat ekonomi nasional ini menilai, perlu untuk meletakan kembali apa yang menjadi pondasi perekonomian daerah. Menurtunya, Pemerintah Daerah harus mampu menciptakan kolaborasi di kalangan pelaku ekonomi kecil agar mampu mencapai skala ekonomis.
“Kemudian untuk mengantisipasi terjadinya social unrest di kalangan masyarakat, menurut saya perlu adanya sentuhan langsung pada lapisan masyarakat terbawah kita yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM,” pungkas Abdul Madjid.
Kepala KPw BI Sultra Doni Septadijaya memaparkan, pihaknya telah mengeluarkan kebijakan untuk menjaga kestabilan ekonomi daerah terkait kenaikan harga BBM. Diantaranya, memperkuat sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga kestabilan harga dan meningkatkan ketahanan pangan melalui Rapat Koordinasi Tim Pengendali Inflasi.
Kepala KPw BI Sultra Doni Septadijaya.
Kemudian untuk memitigasi kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi, tambah Doni, pihaknya akan memperkuat operasi moneter melalui kenaikan suku bunga di pasar uang sesuai dengan suku bungan (BI-7DRR).
“Serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tikar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidak pastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Pasar Kadin Sultra, Sastra Alamsyah mengungkapkan, salah satu misi Kadin Sultrs yaitu mendorong pelaku UMKM di daerah agar mampu menembus level ekspor. Namun pihaknya mengaku mengalami kesulitan untuk mendorong hal itu akibat adanya kebijakan kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga-harga.
Disebutnya, sektor usaha yang paling kesulitan akibat adanya kebijakan kenaikan harga BBM adalah sektor transportasi, logistik, dan pariwisata.
“Untuk mengatasi ini, kami membutuhkan edukasi dan sharing bersama tema-teman perguruan tinggi utamanya bagaimana para pelaku UMKM bisa bertahan di kondisi ini. Kemudian kami memberikan masukan juga kepada Bank Indonesia agar bisa berkolaborasi khususnya terkait keluhan-keluhan UMKM terkait fasilitas kredit mereka,” ujar Sastra.
KENDARI, SULTRAGO.ID – Dalam upaya pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara (Kanwil Kemenkumham Sultra), memiliki berbagai jenis inovasi diantaranya Pojok Aspirasi. Keberadaan pojok aspirasi ini bertujuan sebagai wadah masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya pada jajaran Kemenkumham Sultra.
Keberadaan Pojok Aspirasi ini menarik perhatian dari DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Ketertarikan pihak DPRD setempat lantaran dianggap sangat efektip sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat. Oleh karena itu pihak dewan tengah menyusun perencanaan untuk membangun sebuah wadah pelayanan aspirasi rakyat serupa.
Pusat pelayanan aspirasi rakyat itu diberi nama adalah Pojok Aspirasi Masyarakat Wawonii. Gagasan tersebut mendirikan Pojok Aspirasi ini muncul setelah sejumlah wakil rakyat Konkep melakukan studi tiru ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sultra belum lama ini.
Rombongan wakil rakyat tersebut pada studi tiru kali ini dipimpin langsung oleh Wakil Ketua I DPRD Konkep, Imanuddin. Dalam kunjungannya ia pun mengapresiasi pelayanan Kanwil Kemenkumham Sultra terkhusus Pojok Aspirasi itu.
Imanuddin menjelaskan bahwa pihaknya akan segera membuat hal serupa untuk melayani aspirasi masyarakat Pulau Wawonii itu secara maksimal.
“Tidak ada alasan staf Kanwil Kemenkumham Sultra untuk tidak maksimal dalam bekerja. Fasilitas dan komunikasi pimpinan sangat baik. Saya juga suda perintahkan tadi staf segera akan bikin yang seperti ini. Sesampai di Konkep kita akan segera buat (Pojok Aspirasi), luar biasa pelayanan disini (Kantor Wilayah Kemenkumham),” ungkap Imanuddin yang disahuti apresiasi oleh empat anggota dewan lainnya. Mereka adalah, Ketua Komisi III, M Farid, Kalbi Erdiyansyah, Hatiga dan Arifuddin Bakrie pada 1, Juli 2022.
Hal senada juga dikatakan anggota dewan lainnya, Kalbi Erdiyansyah mengatakan bahwa Pojok Aspirasi sangat tepat ketika dibuat di kantor DPRD. Sebab keberadaan anggota dewan adalah perwakilan rakyat tentu mesti ada sarana yang berfokus sebagai wadah penyampaian aspirasi masyarakat.
“Masyarakat dalam mengeluarkan aspirasinya di kantor DPRD terkadang para anggota dewan ini kan tidak di kantor karena tugas luar. Jadi disaat waktu seperti itu maka masyarakat tetap bisa menyuarakan aspirasinya lewat wadah Pojok Aspirasi itu. Ini inovasi luar biasa Kantor KemenkumHam Sultra dan tidak salah jika kita mengadopsi hal yang baik seperti itu,” tambah Ical sapaan akrabnya sang politisi muda Konkep itu.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara (Kakanwil Kemenkumham Sultra), Silvester Sili Laba, bersama jajaran menyambut baik kunjungan tersebut. Dia merasa bangga bahwasannya inovasi dari Kanwil Kemenkumham Sultra menjadikan inspirasi DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.
“Ini adalah rasa syukur dan bangga suka cita yang tak terhingga karena seperti bidadari cantik yang datang ke Kantor Wilayah. DPRD sebagai amanah rakyat datang ke Kantor Wilayah untuk studi tiru terkait pojok aspirasi dan melihat segala pelayanan khususnya inovasi-inovasi untuk pelayanan masyarakat. Kami bangga dan suka cita tersendiri,” kata Silvester.
KONKEP, SULTRAGO.ID – Desa Wawoone, Kecamatan Wawonii Selatan, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) Sulawesi Tenggara (Sultra) Gelar Musyawarah Desa (Musdes) penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) ditahun 2023 mendatang di Balai Desa Wawoone, sabtu (17/9).
Sekretaris Desa (Sekdes) Wawoone Muh Abduh mengungkapkan, Musdes ini merupakan kegiatan awal sebelum dilakukannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa Wawoone.
“Setelah anggaran untuk tahun 2023 sudah ada, kami akan segera melakukan Musrembang dan juga memilah mana yang menjadi program prioritas,” Jelasnya.
Ia menambahkan, Program prioritas desa nantinya akan ditentukan berdasarkan besarnya anggaran ditahun 2023 mendatang.
Berikut hasil Musdes penyusunan RKPDes ditahun anggaran 2023.
Pertanian
Bibit pala/ Kelapa genja
Pagar penghalang hewan
Sensor mini
Hansplayer (cas)
Pestisida/ Herbisida
Pengolahan sagu
Peternakan.
Bibit sapi
Nelayan
Perlengkapan alat alat Nelayan (Pukat, Kapal, dll)
Pertukangan
Alat alat Mobiler, ( Skap listrik, profil, pahat, dll)
Indonesia saat ini menjadi produsen terbesar dunia untuk komoditas nikel. Per 2021 saja, Indonesia telah berhasil memproduksi nikel sebesar 1 juta ton. Jumlah kenaikan produksi ini tidak terlepas dari Indonesia yang saat ini menggunakan teknologi berbasis pirometalurgi dan hidrometalurgi.
Teknologi pirometalurgi atau biasa kita sebut smelting (peleburan) sudah digunakan di PT Antam yang menghasilkan Fe-Ni, PT Vale yang menghasilkan Ni Matte, dan PT IMIP yang menghasilkan NPI. Akan tetapi, proses tersebut memerlukan energi yang sangat tinggi dan hanya bisa mengolah bijih nikel tipe saprolit.
Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkanlah teknologi hidrometalurgi, salah satunya adalah HPAL (High Pressure Acid Leaching) yang mampu mengolah bijih nikel limonit dengan kebutuhan energi yang lebih kecil.
HPAL melibatkan proses pelindian pada temperatur dan tekanan yang tinggi (240-270°C, 33-55 atm). Teknologi ini pertama kali diterapkan di Cuba pada tahun 1959 dan tahun 2000 oleh 2 perusahaan yang berbeda, kemudian tiga perusahan di Australia menggunakan teknologi ini mulai tahun 1988-1999, serta di Filipina.
Dari semua proyek tersebut, hanya di Cuba dan Flipina yang berhasil dengan baik mengoperasikannya. Sumitomo, perusahaan investasi bisnis dan perdagangan global asal Jepang di Pulau Palawan, menggunakan teknologi HPAL generasi ketiga dan telah berhasil dengan baik yang menyempurnakan teknologi sebelumnya.
Teknologi generasi ketiga ini telah mengadopsi sistem pengendalian lingkungan yang efektif, yang ditandai dengan lebih sedikitnya jumlah sisa proses yang dibuang jika dibandingkan dengan proses teknologi generasi HPAL sebelumnya, termasuk terhadap proses peleburan.
Karena efektivitasnya dalam pengendalian lingkungan, teknologi HPAL generasi ketiga ini dikenal juga dengan sebutan “Proses Hijau”.
Di Indonesia, teknologi ini telah dikembangkan dan diimplementasi. Teknologi HPAL dari China berhasil dikembangkan di Pulau Obi di bawah PT Halmahera Persada Lygend (HPL), salah satu perusahaan milik Harita Nickel yang saat ini sudah beroperasi dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih.
HPAL yang dikembangkan menggunakan teknologi generasi ketiga, yakni generasi versi terbaru dan tercanggih.
Dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih per tahun, PT HPL menghasilkan produk akhir berupa nikel sulfat (NiSO4.7H2O) dan kobalt sulfat (CoSO4.7H2O) yang kadar Ni dan Co masing-masing 21% dan 20%. Dengan kapasitas yang besar tersebut, diperlukan pula pasokan bijih yang besar pula.
Pasokan bijih nikel untuk PT HPL saat ini berasal dari PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Jikodolong Megah Pertiwi, PT Obi Anugerah Mineral, dan PT Gema Kreasi Perdana.
Dengan adanya teknologi HPAL ini, diharapkan Indonesia mampu untuk menjaga komitmen dalam memproduksi nikel dengan cara yang efektif, efisien, dan tentunya ramah lingkungan demi visi pembangunan berkelanjutan.
Indonesia saat ini menjadi produsen terbesar dunia untuk komoditas nikel. Per 2021 saja, Indonesia telah berhasil memproduksi nikel sebesar 1 juta ton. Jumlah kenaikan produksi ini tidak terlepas dari Indonesia yang saat ini menggunakan teknologi berbasis pirometalurgi dan hidrometalurgi.
Teknologi pirometalurgi atau biasa kita sebut smelting (peleburan) sudah digunakan di PT Antam yang menghasilkan Fe-Ni, PT Vale yang menghasilkan Ni Matte, dan PT IMIP yang menghasilkan NPI. Akan tetapi, proses tersebut memerlukan energi yang sangat tinggi dan hanya bisa mengolah bijih nikel tipe saprolit.
Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkanlah teknologi hidrometalurgi, salah satunya adalah HPAL (High Pressure Acid Leaching) yang mampu mengolah bijih nikel limonit dengan kebutuhan energi yang lebih kecil.
HPAL melibatkan proses pelindian pada temperatur dan tekanan yang tinggi (240-270 C, 33-55 atm). Teknologi ini pertama kali diterapkan di Cuba pada tahun 1959 dan tahun 2000 oleh 2 perusahaan yang berbeda, kemudian tiga perusahan di Australia menggunakan teknologi ini mulai tahun 1988-1999, serta di Filipina. Dari semua proyek tersebut, hanya di Cuba dan Flipina yang berhasil dengan baik mengoperasikannya.
Sumitomo, perusahaan investasi bisnis dan perdagangan global asal Jepang di Pulau Palawan, menggunakan teknologi HPAL generasi ketiga dan telah berhasil dengan baik yang menyempurnakan teknologi sebelumnya.
Teknologi generasi ketiga ini telah mengadopsi sistem pengendalian lingkungan yang efektif, yang ditandai dengan lebih sedikitnya jumlah sisa proses yang dibuang jika dibandingkan dengan proses teknologi generasi HPAL sebelumnya, termasuk terhadap proses peleburan. Karena efektivitasnya dalam pengendalian lingkungan, teknologi HPAL generasi ketiga ini dikenal juga dengan sebutan “Proses Hijau”.
Di Indonesia, teknologi ini telah dikembangkan dan diimplementasi. Teknologi HPAL dari China berhasil dikembangkan di Pulau Obi di bawah PT Halmahera Persada Lygend (HPL), salah satu perusahaan milik Harita Nickel yang saat ini sudah beroperasi dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih. HPAL yang dikembangkan menggunakan teknologi generasi ketiga, yakni generasi versi terbaru dan tercanggih.
Dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih per tahun, PT HPL menghasilkan produk akhir berupa nikel sulfat (NiSO4.7H2O) dan kobalt sulfat (CoSO4.7H2O) yang kadar Ni dan Co masingmasing 21% dan 20%. Dengan kapasitas yang besar tersebut, diperlukan pula pasokan bijih yang besar pula. Pasokan bijih nikel untuk PT HPL saat ini berasal dari PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Jikodolong Megah Pertiwi, PT Obi Anugerah Mineral, dan PT Gema Kreasi Perdana.
Dengan adanya teknologi HPAL ini, diharapkan Indonesia mampu untuk menjaga komitmen dalam memproduksi nikel dengan cara yang efektif, efisien, dan tentunya ramah lingkungan demi visi pembangunan berkelanjutan.
KONAWE UTARA, SULTRAGO.ID – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), lakukan inspeksi mendadak (sidak) di perusahaan PT Bumi Nikel Nusantara (BNN) yang beroperasi di Kecamatan Andowia, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (11/9).
Sidak DLH Konut di perusahaan penambangan biji nikel ini, digelar atas tindak lanjut laporan masyarakat adanya dugaan pengerusakan sumber mata air bersih yang ditimbulkan dari aktivitas PT BNN sehingga menyebabkan pencemaran.
Sidak DLH resmi digelar bersama beberapa wartawan sesuai Surat Perintah Tugas (SPT) Nomor :660/258/lX/2022, dipimpin Sekertaris DLH Konut, Marjoni bersama para Kepala Bidang (Kabid) DLH Konut.
Namun miris, saat tim DLH Konut dan wartawan tiba di lokasi penambangan PT BNN, awak media dari Rakyat Sultra dan Indosultra.Com, dilarang meliput di lokasi titik air bersih area penambangan PT BNN oleh Wakil Kepala Teknik Tambang (KTT) PT BNN.
Tak ada penjelasan secara detail alasan wartawan dilarang meliput dititik lokasi air bersih tempat kawasan penambangan PT BNN. Wakil KTT BNN hanya mengatakan bahwa itu aturan perusahaan.
“Kami dari perusahan tidak mengizinkan dari pihak media, untuk ikut naik ke atas (meliput red..) karena ini aturan perusahaan, bisa di izinkan asal ada izin surat dari pihak media,” kata Wakil KTT PT BNN, La Ode Ramaika kepada wartawan di mes PT BNN, Selasa (11/9/2022), disaksikan pihak DLH Konut dan beberapa karyawan perusahaan.
Menanggapi pernyataan tersebut, wartawan Indosultra.com, Jefri Ipnu menjelaskan, kehadiran media yaitu untuk memperoleh dukementasi dan informasi dari pihak PT BNN atas adanya laporan dugaan pengerusakan titik air bersih, sehingga dalam pembuatan berita dapat berimbang. Namun, lagi-lagi penyampaian itu ditolak oleh pihak PT BNN.
Karena itu, Jefri Ipnu menyebut prilaku Wakil KTT PT BNN yang melarang wartawan untuk meliput merupakan suatu pelanggaran sebagaiman yang tercantum pasal 18 undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Sebagai pers, kami sudah profesional bekerja untuk memperoleh informasi yang berimbang dari masyarakat dan perusahaan atas adanya laporan pencemaran air bersih. Tapi yang kami sesalkan dilarang meliput oleh Wakil KTT PT BNN. Ada apa? Kenapa harus dilarang meliput pengelolaan penambangan PT BNN,” ujarnya.