Oleh: Erni Dwi Handayani
Sekolah merupakan tempat menuntut ilmu untuk masa depan, namun saat ini telah banyak ditemukan adanya kasus bullying di sekolah. Salah satunya perundungan yang terjadi pada siswa SMA Negeri 4 Kendari pada kegiatan diklat K2S. Kasus-kasus tersebut merupakan segelintir bullying yang terjadi di negeri ini. Tentu masih banyak kasus bullying di sekolah yang tidak terekspos media massa.
Maraknya kasus bullying di sekolah harus jadi bahan renungan kita semua. Ternyata proses pendidikan belum mampu membuat karakter anak yang cinta damai. Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan lebih ditonjolkan ketimbang upaya berdamai. Emosi remaja masih tergolong labil, sehingga kerap mengekspresikan diri dan tidak dapat mengontrol dirinya, sampai bertindak bully terhadap temannya sendiri. Misalnya, menghina atau mempermalukan teman sekolah melalui sosial media.
Bullying yang dilakukan oleh siswa terjadi disekolah bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti trauma dengan lingkungan rumah, kurangnya pemahaman dan kurangnnya didikan. Saat ini lebih mudah untuk mengeksposnya dengan adanya media sosial sehingga mendapat perhatian dari banyak pihak.
Bukan hanya menjadi tanggung jawab guru untuk memberi pemahaman terhadap kasus kekerasan tapi orang tua, dan lingkungan sekitarnya. Bullying bisa terjadi saat pelajaran maupun di luar kelas. Bentuknya, berupa kekerasan verbal, fisik, maupun psikis yang pelakunya bisa guru, siswa sendiri, juga karyawan sekolah. Adanya kekerasan yang dibiarkan sehingga menimbulkan akumulasi perilaku menyimpang pada diri anak. Bentuk pelampiasannya kerap menimpa korban yang lemah secara fisik.
Bullying tidak hanya secara interaksi tatap muka, tetapi sudah menggunakan media sosial dengan istilah cyber bullying. Yakni, segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui internet. Cyber bullying terjadi di mana seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler.
Kendari sebagai kota ramah anak yang memiliki forum anak seharusnya lebih memperhatikan kasus-kasus seperti ini karena dampak yang didapatkan oleh anak pasca di bullying akan mendapat trauma seumur hidup hingga tak jarang juga yang memilih untuk berhenti sekolah. Pelaku yang selalu mendapat perlindungan karena dibawah umur menjadi alasan tidak adanya efek jera dari para pelaku. Sekolah yang sudah terkenal memiliki kualitas yang baik sangat disayangkan masih saja terjadi hal yang tidak diinginkan seperti ini.
Guru dan siswa harus belajar bagaimana menyikapi perilaku kekerasan untuk mengantisipasinya. Keterampilan menghadapi kasus kekerasan pendidikan dibutuhkan. Sebab guru sering kali tahu ada perilaku kekerasan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
Sekolah harus punya prosedur untuk melaporkan perilaku kekerasan. Sekolah perlu membuat kebijakan tentang bagaimana sistem untuk menerima laporan akan tindakan kekerasan dan sistem untuk melindungi para pelapor.
Studi menunjukkan ketika perilaku kekerasan itu diawasi, dan staf secara konsisten menindaklanjuti setiap laporan tentang kekerasan, perilaku itu akan berkurang. Para saksi perilaku kekerasan akan merasa nyaman melaporkan bila ada prosedur yang jelas dan mereka memiliki rasa percaya kepada para pendidik di sekolah.
Sayangnya, di sekolah kita masih ada banyak siswa tidak mau melaporkan perilaku kekerasan karena merasa tidak nyaman, tidak aman, sebab pendidik kurang memiliki kredibilitas yang mampu melindungi pelapor.
Dengan memanfaatkan trending pada media sosial tentunya hal seperti ini bisa mudah dipublish dan mendapat perhatian dari publik sehingga diharapkan jika terjadi kasus yang serupa akan segera terselesaikan dan pelaku mendapat efek jera untuk tidak mengulang kembali.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Administrasi Pembangunan Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo
Tinggalkan Balasan