Polemik Tambang Blok Mandiodo. Salah Siapa?

Oleh: Ashari (Direktur Eksekutiv eXplor Anoa Oheo)

Ketidak pastian status sengketa hukum tumpang tindih wilayah izin pertambangan antara PT. Aneka Tambang dengan sederet IUP swasta diantaranya PT. Wanagon Anoa Indonesia, PT. Hafar indotech, PT. Karya Murni Sejati 27, PT. Sriwijaya Raya, PT. Reski Cahaya Makmur, CV. Ana Konawe, PT. James Armando Pundimas, PT. Mugnhi, CV. Sangia Perkasa, dan PT. Avry Raya adalah sebagai bukti ketidak seriusan Pemerintah menangani persoalan pertambangan di Wilayahnya.

Padahal sudah pernah dilakukan mediasi oleh Gubernur Sulawesi Tenggara yang dihadiri seluruh Forkopimda yang terkait, serta semua pihak-pihak perusahaan yang bersengketa, bahkan dihadiri langsung para direktur nya.

Saat acara berlangsung dipaparkan pula kronologis permasalahan tumpang tindih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara. Dalam paparan itu disampaikan bahwa pada Blok Mandiodo terhitung keseluruhan wilayah konsesi IUP seluas 16.000 yang diklaim oleh PT. Aneka Tambang. Dari total luas tersebut, Kurang lebih 2.000 Ha terbit IUP oleh beberapa perusahaan swasta.

Gubernur Sulawesi Tenggara menyimak dan mendengar serta menanggapinya dengan dingin. Dikatakan bahwa Pemerintah Sulawesi Tenggara akan mencoba menyampaikan persoalan ini ke Pusat. Di sela kesempatan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (KAJATI Sultra) juga memberikan pandangannya bahwa secara hukum persoalan ini sudah berlarut-larut tanpa ada penyelesaian sebab semua pihak merasa benar.

Kesimpulan dari beberapa pembicara saat itu hanya menyampaikan saran agar pihak-pihak kiranya bisa bekerja sama, berinvestasi, serta berkontribusi dalam pembangunan di daerah terutama masyarakat sekitar tambang.

eXplor Anoa Oheo yang juga mengikuti pertemuan saat itu di aula Rumah Jabatan Gubernur Sultra pada bulan Desember Tahun 2019 menanggapi bahwa, kegiatan tersebut sebatas seremonial saja tidak ada benang merah yang di hasilkan. Ketidakpastian inilah sehingga pihak yang berkepentingan merasa jenuh dan serba salah.

Pertimbangan hukum itu penting namun jauh lebih penting andai kata stakeholder mengambil pertimbangan pada aspek sosial ekonomi. Rakyat butuh kerja untuk makan, masyarakat yang terdiri dari Desa Mandiodo, Tapuemea dan Desa Tapunggaya menggantungkan hidupnya di tambang, bisa mati jika tidak dikelolah.

Pemerintah tidak tegas menjaga martabat kedaerahan, hanya bisa pasrah dan tutup mata, tidak punya nyali membela rakyat dan daerahnya. Sebenarnya ada formula yang baik. Normatifnya dalam pokok persoalan, ada 16.000 Ha lahan klaim PT. Antam dan 2000 Ha klaim yang dibagi-bagi beberapa perusahaan swasta yang juga didasari oleh IUP. Berarti PT. Antam masih memiliki lahan 14.000 Ha.

Kami tidak berpihak kepada perusahaan siapa tapi setidaknya mendengar aspirasi masyarakat di sekitar tambang itu jauh lebih penting. Sebab dari tahun 2011 hingga kini tambang swasta lah yang banyak memberikan kontribusi riil perputaran ekonomi masyarakat setempat.

Terlihat pada perubahan sosial dan budayanya, banyak perubahan dan perkembangan. Meskipun juga di sisi penurunan kualitas lingkungan tak terbendung karena efek tambang jelas merubah bentang alam. Legal atau pun ilegal sama saja, tergantung kesadaran semua pihak baik yang melaksanakan pekerjaan maupun yang mengawasinya.

Jauh berbeda dengan perusahaan plat merah PT. Antam. Hanya bisa jadikan lahan tidur bahkan tidak ada kepastian soal janjinya untuk dirikan pabrik kapan bisa terealisasi. Masyarakat butuh lapangan kerja dan butuh makan, bukan perdebatan hukum yang berkepanjangan lalu terjadinya kesenjangan sosial.

Pasca Penindakan Lidik/Sidik yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta. Kurung waktu selama dua minggu pemeriksaan di lokasi tempat kejadian perkara (TKP), Saat itu pula Kampung Mandiodo dan Tapunggaya menjadi “Kota Hantu” bagaikan seusai tsunami menerjang, sepi, hening, bimbang, seketika masyarakat bingung kehilangan pekerjaan.

Proses hukum mesti dijunjung tinggi dan sepatutnya juga kehidupan manusia perlu dipertimbangkan. Ratusan bahkan ribuan orang banyak yang bergantung hidup di sana terputus hanya persoalan dampak tidak adanya kepastian hukum itu sendiri.

Contoh Kasus yang pernah di tangani oleh pihak Kepolisian Resort Konawe terkait penggunaan kawasan hutan. Dimana Perusahaan Perkebunan PT. Damai Jaya Lestari (DJL) terbukti telah mengalih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kasus ini di hentikan mengingat banyaknya kehidupan manusia yang bergantung nasib di dalamnya. Lalu apa bedanya dengan persoalan tambang Mandiodo. Jika itu salah, siapa yang mesti harus bertanggung jawab?

Pasca penegakkan hukum oleh Mabes Polri, ini bukan pertama kali Mabes memeriksa tambang Mandiodo bahkan pernah melakukan penyegelan. Blok Mandiodo terbilang setiap tahunnya kedatangan tamu Mabes. Namun berbeda kali ini sangat berlangsung lama tak ada penyelesaian atau titik terang. Justru muncul kabar PT. Antam akan menambang dengan menggandeng perusahaan swasta.

Kami akan monitor setiap perkembangannya. Jika informasi itu benar adanya, kami akan jemput pihak Antam dengan tatap muka pada saat sosialisasi nanti. Dan kami pastikan kebenaran akan datang dengan sendirinya, tentang apa dan motif apa. Inti dari semua persoalan, kami inginkan semua pihak tidak ada yang dirugikan.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *