Tag: PT. OSS

  • Manajemen PT. OSS Diduga Sengaja Manipulasi Kadar Bijih Nikel Hingga Merugikan Negara

    Manajemen PT. OSS Diduga Sengaja Manipulasi Kadar Bijih Nikel Hingga Merugikan Negara

    KENDARI, SULTRAGO.ID – Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Sulawesi Tenggara (Sultra) menduga, manajemen PT. Obsidian Stainless Steel (OSS) telah memanipulasi kadar bijih nikel. Sehingga terjadi perbedaan signifikan dari hasil pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir.

    Ketua DPD GPM) Sultra, Rajab mengungkapkan, selama ini data yang diserahkan pihak LAB ke HOD diduga tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Disebutnya, beberapa diantaranya ada yang kadar 1,0 persen, namun ketika laporan hasil analisa diserahkan ke HOD, kadar yang awalnya tidak memenuhi standar itu tiba-tiba saja berubah menjadi 1,5 hingga 1,7 persen atau sebaliknya.

    “Ini perbedaan yang mengundang tanda tanya karena sangat jauh. Ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan sudah merugikan pengusaha di sektor hulu pertambangan, juga mempengaruhi penerimaan Negara,” ungkap Rajab pada media ini, Selasa (11/1).

    Ia menjelaskan, penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah dapat memengaruhi penerimaan royalty bagi Negara. Misalnya, selisih kadar 0,5 persen dikalikan dengan harga patokan mineral (HPM), lalu dikalikan dengan nilai tukar rupiah, kemudian dikali total produksi 2021 yang berkisar 2,2 juta metrik ton.

    “Estimasi kerugian Negara dari berkurangnya penerimaan royalty bisa setara Rp338,8 miliar per tahun 2021. Ini baru dari royalti, belum dari pos penerimaan lain seperti potensi Pajak Air Permukaan yang menjadi hak Provinsi Sulawesi Tenggara,” terang Rajab.

    “Tentu proyeksi penggunaan air permukaan akan dipengaruhi oleh produksi feronikel dari perusahaan, sehingga ketika data nikel yang masuk tidak valid maka besaran pajak juga akan tidak tepat. Hal ini bukan hanya merugikan Negara tapi Sultra sebagai daerah yang mendapatkan langsung dampak ekologis tambang merasa dirugikan,” sambungnya.

    Selain itu, Rajab menilai di sektor pertambangan, khususnya nikel, terdapat kasus yang mengarah kepada illicit financial flow (IFF). Kasus itu terkait perpindahan dana gelap ke Negara lain, yang didapatkan, ditransfer, atau digunakan secara ilegal dalam lintas batas yurisdiksi.

    Berdasarkan data Global Financial Integrity, rata-rata IIF pada kurun 2008–2017 mencapai US$43 miliar. Hal tersebut berpotensi merugikan negara dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.

    “Dengan tarif royalti 5 persen, negara seharusnya memperoleh penerimaan Rp3,02 miliar. Indonesia menjadi Negara yang dirugikan dari praktik IIF. Olehnya itu, kami meminta pihak terkait untuk mengusut tuntas permainan jahat oknum manajemen PT.OSS,” pungkasnya.

  • Tongkang Antri Panjang di Morosi, PT. OSS Stop Sementara Penerimaan Nickel Ore, PT. Antam Jualan ke Pabrik Jadi Sorotan

    Tongkang Antri Panjang di Morosi, PT. OSS Stop Sementara Penerimaan Nickel Ore, PT. Antam Jualan ke Pabrik Jadi Sorotan

    KENDARI, SULTRAGO.ID – Pabrik pemurnian nikel yang beroperasi di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), PT. Obsidian Stainless Stell (OSS) hentikan sementara penerimaan suplai Nickel Ore dari supplier.

    Informasi itu diketahui melalui Surat Pemberitahuan PT. OSS Nomor 009/EM-NP/OSS/VII/2021 tertanggal 19 Juli 2021 tentang penambahan waktu penghentian sementara penerimaan Nickel Ore diperpanjang sampai tanggal 31 Juli 2021. Disusul pemebritahuan selanjutnya bahwa penerimaan Nickel Ore belum bisa dilakukan di Bulan Agustus ini.

    Ketgam: Surat pemberitahuan PT.OSS.

    Alasannya, masih banyaknya antrian tongkang di pelabuhan PT. OSS (kondisi terakhir sekitar 35 tongkang per 19 Juli 2021). Selain itu, dikarenakan kapasitas stockpile yang hampir penuh, serta kondisi cuaca yang menyebabkan menurunnya produktivitas pembongkaran.

    Kelebihan suplai yang diterima smelter milik PT. OSS kemudian menyeret nama salah satu perusahaan tambang Nickel terbesar di Sultra, yakni PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) yang disinyalir ikut menjual hasil produksinya ke PT. OSS melalui tiga perusahaan trader.

    Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Pemuda Pertambangan Indonesia (HIPPI) melaui siaran persnya menyebutkan, tiga perusahaan yang menjadi trader PT Antam yaitu PT. Mineral Putra Prima (MPP) menjual ore nikel PT. Antam ke PT. OSS, VDNI dan SMI dengan kontrak 3 tahun untuk 1.880.000 MT.

    Kemudian PT. Ekasa menjual ore nikel PT. Antam ke OSS, dan SMI dengan kontak 3 tahun sebesar 1.880.000 MT, serta PT. Satya Karya Mandiri) dengan kontrak 3 tahun untuk 4.000.000 MT.

    “Kenapa direksi PT Aneka Tambang harus menjual biji nikel ke SMI, OSS dan Virtue Dragon lewat trader MPP, Ekasa dan SKM? Padahal bisa menjual langsung Bukankah jika lewat trader membuat keuntungan perusahaan menjadi jauh berkurang?” ucap Irvan Nadira Nasution, Ketua Advokasi, Hukum dan HAM DPP HIPPI melali siaran persnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

    Selain itu, DPP HIPPI juga menyoroti terkait terus tertundanya pembangunan Pabrik Feronikel
    Halmahera Timur (P3FH) PT. Antam yang tak kunjung selesai.

    “Padahal, konstruksi pabrik itu sudah mencapai 97 persen sejak 2019 lalu. Namun pengoperasian
    smelter milik Antam ini ternyata masih terus terganjal pasokan listrik. Apakah ini disengaja?,” sambungnya.

    Senada, Sekretaris Jendral Asosiasi Penambang Nickel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey juga angkat bicara terkait PT. Antam yang juga menjual bijih nikel ke pabrik. Menurutnya, PT. Antam yang memiliki cadangan bijih nikel yang banyak harusnya mampu membangun pabrik sendiri.

    “Ada yang tanya, kenapa Antam menjual ore? Antam punya cadangan yang besar, seharusnya Antam membangun pabrik sendiri seperti Harita yang punya tambang besar tapi tidak menjual ore, bangun pabrik sendiri, bahkan mengakomodir penambang lain untuk suplai ore ke Harita,” kata Meidy keoada media ini, Rabu 4 Agustus 2021.

    Ia juga menilai, besarnya cadangan ore yang dimiliki juga dapat memungkinkan PT. Antam untuk memonopoli pengadaan bahan baku ke smelter. Sehingga hal tersebut dapat merugikan para penambang lokal lainnya yang memiliki cadangan tidak sebesar PT. Antam.

    “Kalau PT. Antam memonopoli pengadaan bahan baku ke smelter, mending IUP yang lain dicabut saja semua dan diganti jadi nama Antam semua,” tuturnya.