Kategori: Opini

  • Aktivitas Pertambangan di Pulau Wawonii, Berdampak Kesejahteraan atau Sebaliknya?

    Aktivitas Pertambangan di Pulau Wawonii, Berdampak Kesejahteraan atau Sebaliknya?

    Oleh; Rian Rinaldi

    Polemik keberadaan perusahaan tambang PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi perdebatan serius beberapa pekan terakhir.

    Beberapa kelompok masyarakat dan aktivis lingkungan terus menyuarakan penolakan anak perusahaan Harita Group itu beroperasi di Wawonii. Namun tidak sedikit pula kelompok masyarakat yang mendukung agar PT. GKP melangsungkan aktivitas penambangan di wilayah mmereka.

    Aksi penolakan kerap dilakukan sebagian masyarakat dan aktivis lingkungan dikarenakan mereka menilai, aktivitas penambangan di Pulau Wawonii yang hanya memiliki luas wilayah 715 kilometer persegi, bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

    Alasan penolakan juga didasari oleh kekhawatiran akan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Sebab kegiatan penambangan dinilai akan merusak kawasan pesisir termasuk ekosistemnya, meningkatkan kerawanan bencana, serta mengancam sumber air bersih. Dan yang dianggap paling merasakan dampak buruk dari kegiatan tambang adalah nelayan dan petani di sekitar lokasi penambangan.

    Mengingat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pembangan mineral, cukup beralasan jika sebagian masyarakat bahkan aktivis lingkungan dengan keras menyuarakan penolakan. Namun kita juga harus dengan adil mengakui bahwa tidak selamanya kegiatan penambangan hanya membawa dampak buruk, tetapi ada pula dampak positif, khususnya bagi kehidupan sosial dan ekonomi yang menjadi alasan sebagaian masyarakat mendukung kegiatan penambangan di wilayahnya.

    Aktivitas perusahaan di sektor pertambangan akan membuka lapangan pekerjaan yang besar, khususnya bagi masyarakat lokal atau masyarakat di sekitar lokasi pertambangan.

    Aktivitas pertambangan juga dapat mendorong meningkatnya kegiatan UMKM di masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak hanya berkesempatan untuk menjadi tenaga kerja pada industri pertambangan, tetapi dimungkinkan pula menjadi rekan bisnis perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah mereka.

    Kemudian, pendapatan masyarakat di wilayah  pertambangan secara umum akan meningkat karena  efek dominan dari keberadaan perusahaan telah mampu mendorong dan menggerakkan sendi-sendi ekonomi masyarat.

    Selain itu, setiap perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan diwajibkan menajalankan tanggung jawab sosial atau program Corporate Social Responsibility (CSR) yang bisa dimanfaatkan oleh mayarakat. Sehingga, perusahaan tidak hanya mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Idealnya seperti itu.

    Dampak positif atau pun dampak negatif yang akan ditimbulkan jika kegiatan penambangan dilakukan di Pulau Wawonii, sebenarnya PT. GKP sudah punya jawaban untuk meyakinkan masyarakat. Mengingat group Harita bukan perusahaan yang baru bergerak di sektor pertambangan.

    Sebagai referensi, kita bisa melihat kegiatan Harita Nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Dimana perusahaan raksasa itu tidak hanya melakukan kegiatan penambangan namun juga telah membangun fasilitas pengelolahan dan pemurnian nikel (smelter) melalui perusahaan di bawah naungannya PT Halmahera Persada Lygend. Hal tersebut berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

    Selain itu, kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Obi Halmahera Selatan mengalami perubahan signifikan sejak adanya kegiatan industry pertambangan. Rata-rata pendapatan masyarakat dan aktivitas UMKM meningkat, serta kemajuan di sektor pendidikan dan kesehatan karena dukungan perusahaan dan pemerintah setempat di sektor tersebut cukup konsisten.

    Sementara dari sisi dampak kerusakan lingkungan, group Harita juga punya rekam jejak yang bisa dijadikan referensi. Salah satunya kegiatan reklamasi pasca tambang yang dilakukan anak perusahaannya di Kalimantan Timur. Dimana, revegetasi dan reklamasi lahan pasca tambang yang dilakukan di konsesi Lana Harita Indonesia menjadi proyek percontohan reklamasi pasca tambang di Indonesia.

    Berbagai dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan yang dilakukan Harita Group di beberapa wilayah di Indonesia hanyalah sebuah referensi khususnya bagi masyarakat Pulau Wawonii yang rencananya akan menjadi lokasi kegiatan penambangan PT. GKP.

    Pertanyaan yang masih menjadi akar pro kontra tentang keberadaan PT GKP hingga saat ini, jika aktivitas penambangan mineral dilakukan, apakah akan berdampak pada kesejahteraan atau justru menjadi bencana bagi masyarakat Pulau Wawonii?

    Menurut penulis, dari berbagai rekam jejak aktivitss perusahaan tabang di beberapa daerah di Indonseia, pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui komitmen bersama antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah setempat.

    Bagi masyarakat, setiap keputusan harus dilandasi dengan berbagai pertimbangan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Sebab masyarakat sekitar lokasi pertambangan lah yang paling merasakan dampak, sejahtera atau justru sebaliknya.

    Bagi perusahaan, kegiatan penambangan dilakukan dengan memperioritaskan tanggung jawab sosial maupun lingkungan. Perusahaan jangan hanya menikmati sendiri manfaat dari hasil mengeruk kekayaan alam, namun yang terpenting masyarakat juga harus merasakan manfaatnya.

    Kemudian yang terpenting adalah peran Pemerintah. Pemerintah harus menjadi pengarah dan mengatur jalannya kegiatan pertambangan dengan baik dan benar. Setiap regulasi yang dibuat Pemerintah diharapkan selalu pro terhadap masyarakat, dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama.

    Penulis adalah Sekretaris Ketua II Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Halu Oleo (UHO).

  • Polemik Tambang Blok Mandiodo. Salah Siapa?

    Polemik Tambang Blok Mandiodo. Salah Siapa?

    Oleh: Ashari (Direktur Eksekutiv eXplor Anoa Oheo)

    Ketidak pastian status sengketa hukum tumpang tindih wilayah izin pertambangan antara PT. Aneka Tambang dengan sederet IUP swasta diantaranya PT. Wanagon Anoa Indonesia, PT. Hafar indotech, PT. Karya Murni Sejati 27, PT. Sriwijaya Raya, PT. Reski Cahaya Makmur, CV. Ana Konawe, PT. James Armando Pundimas, PT. Mugnhi, CV. Sangia Perkasa, dan PT. Avry Raya adalah sebagai bukti ketidak seriusan Pemerintah menangani persoalan pertambangan di Wilayahnya.

    Padahal sudah pernah dilakukan mediasi oleh Gubernur Sulawesi Tenggara yang dihadiri seluruh Forkopimda yang terkait, serta semua pihak-pihak perusahaan yang bersengketa, bahkan dihadiri langsung para direktur nya.

    Saat acara berlangsung dipaparkan pula kronologis permasalahan tumpang tindih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara. Dalam paparan itu disampaikan bahwa pada Blok Mandiodo terhitung keseluruhan wilayah konsesi IUP seluas 16.000 yang diklaim oleh PT. Aneka Tambang. Dari total luas tersebut, Kurang lebih 2.000 Ha terbit IUP oleh beberapa perusahaan swasta.

    Gubernur Sulawesi Tenggara menyimak dan mendengar serta menanggapinya dengan dingin. Dikatakan bahwa Pemerintah Sulawesi Tenggara akan mencoba menyampaikan persoalan ini ke Pusat. Di sela kesempatan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (KAJATI Sultra) juga memberikan pandangannya bahwa secara hukum persoalan ini sudah berlarut-larut tanpa ada penyelesaian sebab semua pihak merasa benar.

    Kesimpulan dari beberapa pembicara saat itu hanya menyampaikan saran agar pihak-pihak kiranya bisa bekerja sama, berinvestasi, serta berkontribusi dalam pembangunan di daerah terutama masyarakat sekitar tambang.

    eXplor Anoa Oheo yang juga mengikuti pertemuan saat itu di aula Rumah Jabatan Gubernur Sultra pada bulan Desember Tahun 2019 menanggapi bahwa, kegiatan tersebut sebatas seremonial saja tidak ada benang merah yang di hasilkan. Ketidakpastian inilah sehingga pihak yang berkepentingan merasa jenuh dan serba salah.

    Pertimbangan hukum itu penting namun jauh lebih penting andai kata stakeholder mengambil pertimbangan pada aspek sosial ekonomi. Rakyat butuh kerja untuk makan, masyarakat yang terdiri dari Desa Mandiodo, Tapuemea dan Desa Tapunggaya menggantungkan hidupnya di tambang, bisa mati jika tidak dikelolah.

    Pemerintah tidak tegas menjaga martabat kedaerahan, hanya bisa pasrah dan tutup mata, tidak punya nyali membela rakyat dan daerahnya. Sebenarnya ada formula yang baik. Normatifnya dalam pokok persoalan, ada 16.000 Ha lahan klaim PT. Antam dan 2000 Ha klaim yang dibagi-bagi beberapa perusahaan swasta yang juga didasari oleh IUP. Berarti PT. Antam masih memiliki lahan 14.000 Ha.

    Kami tidak berpihak kepada perusahaan siapa tapi setidaknya mendengar aspirasi masyarakat di sekitar tambang itu jauh lebih penting. Sebab dari tahun 2011 hingga kini tambang swasta lah yang banyak memberikan kontribusi riil perputaran ekonomi masyarakat setempat.

    Terlihat pada perubahan sosial dan budayanya, banyak perubahan dan perkembangan. Meskipun juga di sisi penurunan kualitas lingkungan tak terbendung karena efek tambang jelas merubah bentang alam. Legal atau pun ilegal sama saja, tergantung kesadaran semua pihak baik yang melaksanakan pekerjaan maupun yang mengawasinya.

    Jauh berbeda dengan perusahaan plat merah PT. Antam. Hanya bisa jadikan lahan tidur bahkan tidak ada kepastian soal janjinya untuk dirikan pabrik kapan bisa terealisasi. Masyarakat butuh lapangan kerja dan butuh makan, bukan perdebatan hukum yang berkepanjangan lalu terjadinya kesenjangan sosial.

    Pasca Penindakan Lidik/Sidik yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta. Kurung waktu selama dua minggu pemeriksaan di lokasi tempat kejadian perkara (TKP), Saat itu pula Kampung Mandiodo dan Tapunggaya menjadi “Kota Hantu” bagaikan seusai tsunami menerjang, sepi, hening, bimbang, seketika masyarakat bingung kehilangan pekerjaan.

    Proses hukum mesti dijunjung tinggi dan sepatutnya juga kehidupan manusia perlu dipertimbangkan. Ratusan bahkan ribuan orang banyak yang bergantung hidup di sana terputus hanya persoalan dampak tidak adanya kepastian hukum itu sendiri.

    Contoh Kasus yang pernah di tangani oleh pihak Kepolisian Resort Konawe terkait penggunaan kawasan hutan. Dimana Perusahaan Perkebunan PT. Damai Jaya Lestari (DJL) terbukti telah mengalih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kasus ini di hentikan mengingat banyaknya kehidupan manusia yang bergantung nasib di dalamnya. Lalu apa bedanya dengan persoalan tambang Mandiodo. Jika itu salah, siapa yang mesti harus bertanggung jawab?

    Pasca penegakkan hukum oleh Mabes Polri, ini bukan pertama kali Mabes memeriksa tambang Mandiodo bahkan pernah melakukan penyegelan. Blok Mandiodo terbilang setiap tahunnya kedatangan tamu Mabes. Namun berbeda kali ini sangat berlangsung lama tak ada penyelesaian atau titik terang. Justru muncul kabar PT. Antam akan menambang dengan menggandeng perusahaan swasta.

    Kami akan monitor setiap perkembangannya. Jika informasi itu benar adanya, kami akan jemput pihak Antam dengan tatap muka pada saat sosialisasi nanti. Dan kami pastikan kebenaran akan datang dengan sendirinya, tentang apa dan motif apa. Inti dari semua persoalan, kami inginkan semua pihak tidak ada yang dirugikan.

  • Tambang PT. Antam Di Konut, Menggaut Laba Dengan Siku

    Tambang PT. Antam Di Konut, Menggaut Laba Dengan Siku

    Oleh: Ashari (Direktur Eksekutif eXplor Anoa Oheo)

    Histori keberadaan investasi PT. Aneka Tambang (Antam) di kabupaten Konawe Utara sejak tahun 2005 hingga saat ini tidak signifikan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat dan daerah. Selalu mencari keuntungan besar tanpa melihat kearifan lokal dan bagaimana memikirkan daerah Konut yang merupakan daerah penghasil, bukan menjadi bumerang dengan dalih objek vital.

    Ibaratnya hanya sekedar membeli sayur di desa lalu menjualnya dengan keuntungan besar di kota. Betapa tidak, bendera PT. Antam Pomalaa berkibar di jazirah Bumi Oheo yang artinya projeknya di Konut tapi semua fasilitas dan mobilitas dipakai serba sewaan dari luar. Daerah konut sangat di rugikan mengingat ribuan hektar potensi kekayaan alam dikuasainya sangat jauh aset yang dimilikinya di Pomalaa hanya kisaran 600 Ha.

    Maka skema UBPN Antam jelas kami tolak. Wilayah kami mestinya menjadi pusat atau sentra investasi menuju keadilan dan pemerataan, bukan lalu masyarakat Konut sebagai penonton terbaik di daerah sendiri.

    Praktek BUMNisasi PT. Antam adalah persoalan yang mesti disuarakan dengan perlawanan oleh seluruh masyarakat Konut, terlebih lagi pemerintah daerah sebagai aparatur otoritas penyelenggaraan negara di daerah. Raport merah PT. Antam di Konut harus clear, tidak boleh berlarut-larut hanya karena regulasi yang rentan sebagai intervensi pusat yang tidak pro rakyat itu.

    Pertama, PT. Antam wajib tunaikan janjinya bangun smelter di Konut. Hal ini merupakan syarat dari pemerintah otonom saat itu sehingga PT. Antam mendapatkan persetujuan pemberian IUP prioritas. Tidak ada alasan untuk tidak bangun pabrik pemurnian.

    Dalam perjalanannya pernah melakukan peletakan batu pertama pada tahun 2011 termasuk pembebasan lahan masyarakat untuk kepentingan industri. Justru tidak ada keseriusan investasi Antam untuk mensejahterakan rakyat, apalagi kepentingan pembangunan di daerah.

    Investasi malu-maluin bisa dilihat kantornya saja statusnya sewaan rumah warga, pada sektor pemberdayaan semua unit bisnis dibawa masuk dari luar, pengangkatan pegawai tetap BUMN tidak ada orang Konut sampai sekarang. Masyarakat atau tenaga lokal mengemis dan dibuat kecewa berkaitan permohonan berbagai program kegiatan kepemudaan.

    Kedua, program Coorporate Social Responsibility (CSR), jangankan mau berjalan, sampai mengemis belum tentu dilaksanakan. Sunatan massal, pengadaan tas sekolah, hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dalam pelaksanaannya lebih utama dijadikan sebagai label branding seolah PT. Antam hadir berkontribusi. Begitu juga saat emergency, sembako Indomie Telur menjadi pemanis ketika terjadi bencana melanda Bumi Oheo.

    Ketiga, di mata Antam, Perusahaan Daerah (Perusda) Konut dianggapnya sebagai rival bisnis, bukan sebagai mitra. Pada lelang blok Matarape eks PT. Vale (Inco) terlihat lebih ambisi dikuasainya dengan menggandeng perusahaan swasta konglomerat. Ibarar gajah melawan semut, Perusda terseok-seok hingga dinyatakan tidak lulus. Padahal kesempatan itu daerah bisa mandiri mengelolanya.

    Miris dan keserakahan juga terjadi di blok Tapunopaka, label perusahaan plat merah dagangannya jual tanah air ke industri dalam negeri milik asing. Ironis lagi tuntutan para pemilik lahan untuk diselesaikan haknya, hanya sebatas janji. Bahkan lebih sadis lagi, ternyata bukan janji penyelesaian lahan, justru PT. Antam menggugat secara hukum.

    Keempat, konsesi pertambangan PT. Antam menjadi lahan tidur dan selebihnya dijadikan praktek tambang ilegal oleh sejumlah perusahaan swasta. Ditpiter Reskrim Mabes Polri berhasil menemukan dan menyita beberapa barang bukti yang berasal dari wilayah konsesi IUP milik PT. Antam pada blok Lalindu dan Marombo. Hal itu menunjukkan bahwa ada keterlibatan oknum pemerintah dan petinggi yang melindunginya serta terkesan pembiaran oleh oknum pihak Antam untuk kepentingan pribadi.

    Ketidak pastian sengketa hukum tumpang tindih wilayah izin antara Antam dengan perusahaan swasta pada blok Mandiodo berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Akibatnya juga ditambang oleh belasan IUP dengan alasan sudah mengajukan materi review hukum kepada pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, termasuk pengajuan ke pihak Dinas ESDM terkait permintaan legitimate dokumen perizinan RKAB, CNC, IPPKH, dan sebagainya.

    Walaupun tidak mendapat respon dari pihak-pihak institusi terkait diatas, seolah kegiatan penambangan pada blok Mandiodo dibiarkan berjalan, tutup mata, dan tidak ada perintah iya atau pun tidak, mengingat banyak kehidupan manusia juga yang bergantung hidup terkhusus masyarakat di sekitar tambang. Sekali pun itu alasan klasik, faktanya di lapangan memang benar dan itu yang terjadi.

    Kampung Mowundo, Mandiodo, dan Tapunggaya saat ini seperti kedatangan zombie dan terlihat seperti mati suri sebagai akibat berhentinya kegiatan pertambangan. Totalitas ditunjukkan adanya pemeriksaan Lidik/Sidik yang dilakukan oleh Ditpiter Reskrim Mabes Polri. Terlihat plan larangan Mabes Polri terpampang, begitu juga dengan masyarakat setempat memasang spanduk bertuliskan “Rakyat Butuh Makan”.

    Hal demikian menjadi gambaran bahwa sengketa konsesi lahan tambang pada blok Mandiodo, “Hukum” bukan solusi. Sepatutnya tim Ditpiter Reskrim Mabes Polri tidak serta merta tergesa-gesa melakukan penegakan di lapangan.

    Mengingat pada bulan Desember tahun 2020 di gedung Rujab Gubernur, para Forkompinda Sultra telah dibicarakan bentuk penyelesaian sengketa pada blok Mandiodo. Hasil berita acara tersebut telah disepakati bersama untuk menarik benang merah.

    Saat pertemuan itu di hadiri oleh gubernur, Kapolda Sultra, Ketua DPRD Sultra, Dandim/Danrem, Kajati Sultra, Kabinda Sultra, Bupati Konut, Kapolres Konut, LSM eXplor Anoa Oheo (mewakili), dan instansi terkait lainnya dan juga hadir beberapa direktur pejabat penting PT. Antam termasuk direktur masing-masing perusahaan swasta.

    Pada prinsipnya, dinamika persoalan PT. Antam di Konut tidak ada kata lain selain menolak kehadiran investasinya di Konut.

    Banyak kebohongan “Pakulibiri” PT. Antam yang mesti diclearkan. Harapan besar kami adalah penuhi dulu tuntutan masyarakat dan daerah Kabupaten Konawe Utara. Jika tidak, selegal apapun yang dilakukan, sejengkal tanah yang kau garap pun itu, hukumnya tetap haram.

  • Refleksi 76 Tahun RI; Pancasila Menjawab Permasalahan Sosial-Ekonomi Bangsa

    Refleksi 76 Tahun RI; Pancasila Menjawab Permasalahan Sosial-Ekonomi Bangsa

    Oleh; La Ode Muhammad Faisal

    KENDARI, SULTRAGO.ID – 76 tahun sudah Indonesia Merdeka. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saar ini semakin berat. Pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan, tetapi juga berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia.

    Setelah menunjukkan pencapaian penurunan kemiskinan beberapa tahun belakangan ini, tingkat kemiskinan kembali meningkat setelah pandemi covid-19. Satu dari 10 orang di Indonesia hari ini hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

    Kolaborasi survey berskala nasional yang dilakukan UNICEF, UNDP, Prospera, dan The SMERU Research Institute di akhir tahun 2020 menyimpulkan bahwa dampak dari covid-19 masih akan dirasakan berbagai lapisan masyarakat di tahun 2021.

    Menghadapi dampak pandemi terhadap keadaan sosial-ekonomi yang semakin parah, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah paket stimulus fiskal skala besar melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yakni pengalokasian anggaran besar-besaran untuk mengurangi dampak pandemi.

    Kendati kebijakan PEN belum memberikan dampak signifikan di tahun 2020, namum stimulus yang sama dilakukan di tahun 2021 ini cukup memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Terbukti, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2021 melejit hingga 7,07 persen secara tahunan (yoy) sehingga Indonesia berhasil kembali ke zona positif pertumbuhan ekonomi, setelah beberapa triwulan terakhir berada dalam tekanan resesi akibat dampak pandemi Covid-19.

    Capaian ini cukup membanggakan mengingat capaian ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 17 tahun terakhir. Pertumbuhan ini juga tercatat lebih tinggi dibanding beberapa negara tetangga yang juga terkena dampak pandemik. Namun, meskipun tumbuh tinggi dan bahkan melebihi ekspektasi pasar dan pemerintah, ternyata itu semua tidak dirasakan oleh masyarakat luas dan sektor riil.

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, pertumbuhan ekonomi hanya di atas kertas dan bersifat semu. Sedangkan masyarakat dan pelaku usaha belum menikmati pertumbuhan ekonomi RI.

    Selain itu, bantuan sosial pemerintah terhadap konsumsi masyarakat dinilai tak begitu besar. Sebab konsumsi masyarakat yang terjadi sepanjang April-Juni 2021 justru lebih banyak terjadi karena pelonggaran kegiatan ekonomi. Dan karena pelonggaran itu, ada ‘ongkos’ yang harus dibayar dari realisasi pertumbuhan, yakni, meningkatnya kasus infeksi corona dan korban meninggal akibat pandemi itu.

    Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar sebuah ungkapan pepatah, “Jika kita ingin menolong orang lain, jangan langsung memberikan ikan, tapi berikan pancingnya. Dengan begitu orang itu akan berusaha sendiri untuk mendapatkan ikan”. Untuk itu, arah kebijikan pemerintah dalam mengatasi dampak sosial-ekomomi dari pandemi, khususnya dalam menjaga tingkat konsumsi masyarakat jangan hanya memberikan bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jauh lebih penting adalah merancang sebuah strategi kebijakan untuk menjaga daya tahan kooperasi dan UMKM dimasa pandemi.

    Selain itu, masalah serius yang berkepanjangan yang masih menghantui bangsa yakni ketimpangan ekonomi. Bank Dunia mencatat, ketimpangan yang terus meningkat di Indonesia bukan karena memburuknya kondisi kemiskinan, namun melesatnya akumulasi kekayaan kelas atas.

    Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi tahunan per orang dari 10 persen individu terkaya tumbuh hingga 6 persen setelah disesuaikan dengan inflasi. Tetapi konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya tumbuh kurang dari 2 persen, seperti yang tertulis dalam laporan A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It (dikutip katadata.co.id).

    Keparahan ketimpangan ekonomi yang terjadi selain disebabkan adanya ketimpangan pasar kerja, faktor yang paling mencolok adalah konsentrasi kekayaan di segelintir orang. Sebagaimana Bank Dunia mencatat, hanya 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia mampu menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.

    Penting untuk dipahami, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mengartikan menipisnya kesenjangan sosial-ekonomi. Pengalaman pahit krismon 1997-1998 ditambah ancaman pandemik harusnya telah meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Yaitu, ekonomi yang meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya.

    Berbagai tantangan sosial-ekonomi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini juga harusnya sudah cukup untuk menyadarkan kita untuk kembali merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam menemukan jalan keluar.

    Soekarno dalam pidatonya terkait dasar bernegara pada tanggal 1 Juni 1945 telah menyampaikan uraiannya mengenai arti merdeka, yaitu Philosophische Grondslag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa, dan hasrat sedalam-dalamnya untuk mendirikan Indonesia Merdeka yang Kekal dan Abadi.

    Kemudian melanjutkan dengan menyampaikan pandangan tentang dasar negara dengan melemparkan pertanyaan teoritis mengenai orientasi kognitif dan mendasar yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat. Dasar negara pada poin keempat yang disampaikan oleh Soekarno adalah kesejantraan. Yaitu, selain persamaan politik, persamaan ekonomi dalam bentuk kesejahtraan bersama juga perlu diadakan sebagai prinsip dimana tidak ada lagi kemiskinan di masa Indonesia merdeka.

    Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya disahkan dan disepakati untuk dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah. Poin kesejahtraan kemudian dimuat dalam Sila kelima dalam Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Berdasarkan nilai yang terkandung pada Sila kelima Pancasila, sistem ekonomi Indonesia adalah sebuah sistem yang menjamin keadilan ekonomi. Sila kelima Pancasila juga menetapkan misi dan tujuan bangsa Indonesia dalam melaksanakan cita-cita Indonesia yang adil dan makmur.

    Dengan tujuan itu, ditanamlah dalam UUD 1945 pasal 33 tentang dasar-dasar operasional dalam mewujudkan keadilan sosial. Yaitu kebijakan yang berusaha menyantuni hak-hak konstitusi rakyat serta memperdekat jurang pemisah, baik politik maupun ekonomi di dalam masyarakat.

    Kemudian dalam kehidupan sosial-ekonomi, kompetisi ekonomi diletakkan dalam bingkai kooperatif berlandaskan asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.