NASIONAL, SULTRAGO.ID – Dalam diskusi Indonesia Mining Outlook 2022 yang diselenggarakan Majalah Tambang di JS Luwansa Hotel Jakarta, Kamis (9/12), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) ungkap sejumlah permasalahan yang dihadapi penambang terkait tata niaga biji Nikel dalam negeri.
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey, yang didaulat sebagai penanggap di acara diskusi tersebut menyebutkan, berdasarkan data APNI, saat ini dari 328 IUP Nikel, di luar 2 KK, tidak sampai 100 perusahaan pertambangan di sektor hulu yang benar-benar aktif melakukan produksi bijih Nikel. Perusahaan pertambangan Nikel lainnya masih terkendala perizinan, Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB), dan lainnya.
“Jika dihitung dari 81 badan usaha industri hilir Nikel saja, total kebutuhan bijih Nikel yang akan diproduksi sekitar 265 juta ton per tahun. Jika benar-benar terealisasi penambang kaya ya,” tuturnya.
Dari jumlah kebutuhan input bijih Nikel 265 juta ton per tahun tersebut, dijelaskan Meidy, terbagi bijih Nikel kadar tinggi sekitar saprolite 165,5 juta ton per tahun, kemudian limonite atau law grade-nya 78,7 juta ton per tahun.
Menurutnya, ini angka fantastis. Karena dari beberapa perusahaan industri hilir yang sudah berproduksi, berdasarkan transaksi hingga akhir Oktober 2021, baru menyerap ore Nikel sekitar 73 juta ton. Dari angka itu terbagi dari limonite dan saprolite.
“Saat ini baru dua pabrik yang mulai mau menyerap limonite untuk memaksimalkan bijih Nikel kadar rendah,” kata Meidy.
Ia juga menyampaikan keluh kesah para penambang terkait harga patokan mineral (HPM). Kata Meidy, perkembangan komoditas Nikel hingga saat ini harganya terus merangkak naik. Namun pada kenyataannya, transaksi penjualan bijih Nikel tidak sesuai dengan peraturan HPM.
Ia menjelaskan, transaksi jual-beli yang seharusnya berbasis Free On Board (FOB), dimana penjual berkewajiban membayar royalty, PPh (PNBP) ke negara berdasarkan harga HPM FOB. Tapi dalam pelaksanaannya, transaksi yang dilakukan pelaku hilir dilakukan berdasarkan CIF (Cost, Insurance, and Freight).
“Akhirnya, para penambang mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya yang sudah ditentukan dalam transaksi FOB. Diantaranya harus menanggung subsidi biaya pengiriman ke pelabuhan bongkar,” ungkapnya.
Disebutnya, pembayaran PNBP saat ini mengacu ke hasil verifikasi di terminal muat oleh surveyor yang ditunjuk oleh penambang. Sedangkan pembayaran transaksi mengacu ke hasil verifikasi di terminal bongkar oleh surveyor yang ditunjuk oleh smelter.
“Jika terjadi perbedaan hasil verifikasi antara terminal muat dan bongkar, hasil verifikasi mengacu ke umpire yang telah disepakati bersama dalam kontrak. Hasil verifikasi terminal bongkar yang cenderung lama terbit mengakibatkan mekanisme umpire sulit diaplikasikan,” jelas Meidy.
Meidy mengakui, bijih Nikel kadar rendah memang tidak ada tertera dalam HPM. Karena itu, pihaknya sudah mengirim surat ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM serta ke Satgas HPM untuk merivisi kembali harga HPM khusus limonite dan memperhitungkan juga mineral lainnya yang terkandung dalam bijih Nikel lemonite seperti unsur Cobalt (Co) sehingga bisa menambah pemasukan PNBP untuk negara.
“Dua bulan terakhir, anggota APNI mengeluhkan, dimana sudah ada kontrak-kontrak bijih Nikel limonite tapi harganya kami ibaratkan harga bunuh diri. Karena harga limonite itu tidak masuk akal, selain kami harus melakukan transaksi secara CIF. Kalau kami hitung bukannya untung atau pas-pasan, tapi rugi,” ungkapnya.
Selain itu, Meidy juga menyinggung perusahaan jasa survey. Sekitar 90 persen hasil analisa akhir dari surveyor menunjukkan ketidak sesuaian jumlah kadar Nikel dari penambang. Sebab, hasil akhirnya kerap menurunkan kadar bijih Nikel dan menaikan unsur ratio SiO/MgO dan Kadar Air (MC) dari penambang.
Berdasarkan kondisi keadaan transaksi bijih nikel saat ini, APNI mengusulkan kepada pemerintah terkait tata niaga bijih nikel secara umum. Pertama, memberlakukan seluruh transaksi berbasis pelabuhan muat (FOB) dikarenakan pembayaran PNBP dan transaksi mengacu ke hasil verifikasi di terminal muat (FOB) oleh surveyor yang disepakati bersama oleh penambang dan smelter.
“Dengan demikian, maka transaksi menjadi efisien karena verifikasi hanya satu kali saja, dwelling time terminal bongkar menurun, cashflow penambang menjadi cepat, sehingga ketergantungan terhadap trader dapat berkurang, dan tidak ada lagi kasus reject yang merugikan penambang,” tuturnya.
Kemudian, sambung Meidy, semua acuan metode perusahaan jasa survey wajib dilakukan Standard Nasional Indonesia (SNI) melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan terakreditasi melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai Lembaga Pemerintah non-Kementerian dengan tugas pokok bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian.
“Diperlukan intervensi pemerintah yang cukup besar dalam mengubah proses B2B. Para penambang Nikel menuntut keadilan dalam proses tata niaga bijih Nikel ke pemerintah,” pungkasnya.(***)