KENDARI, SULTRAGO.ID – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perkumpulan Penasehat dan Konsultan Hukum Indonesia (Perhakhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengapresiasi dan menyambut baik kunjungan tim Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri ke Polda Sultra.
Berdasarkan informasi, kehadiran tim Itwasum Mabes Polri ke Polda Sultra berkaitan dengan adanya dugaan kriminalisasi terhadap salah seorang terlapor dalam dugaan perkara tindak pidana penipuan dan atau penggelapan.
“Jadi begini, ada kasus menarik dan unik yang ditangani oknum penyidik Ditreskrimum Polda Sultra. Dan kasus itu berada dalam pantauan dan pengawalan kami, hingga kami harus mengadukan masalah itu ke DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) demi mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum. Alhamdulillah, aduan kami mendapat respons dari DPD RI,” ungkap Ketua DPD Perhakhi Sultra Jaswanto SH, Rabu (17/11).
Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari periode 2013-2014 ini menuturkan, setelah melalui kajian mendalam, Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, melayangkan surat perihal permohonan advokasi dan perlindungan hukum masyarakat kepada Irwasum Polri Komjen Pol. Agung Budi Maryoto dan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia dengan nomor surat: AM.02/2967/DPDRI/X/2021.
Jaswanto menguraikan, kasus ini terkait dengan laporan Mr. Wang De Zhou pada tanggal 09 September 2020 Nomor LP/405/IX/2020/SPKT/Polda Sultra, atas dugaan penipuan dan penggelapan (Pasal 378 KUHP dan 372 KUHP) sebesar Rp5 miliar dengan terlapor Vebrianty A Tajudin.
Padahal, kata Juswanto, Ibu Vebrianty A Tajudin lah yang meminjamkan uang sebesar Rp5 miliar kepada Mr. Wang De Zhou melalui transfer antar rekening bank yang dibuktikan dengan adanya bukti transfer. Namun anehnya, penyidik Ditreskrimum Polda Sultra menetapkan Vebrianty A Tajudin sebagai tersangka dalam perkara itu.
Ia menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 184 ayat 1 KUHAP bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan dua alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
“Dalam perkara ini, penyidik terlalu prematur dan terburu-buru dalam menetapkan tersangka yang mengganggu harkat dan martabat terlapor. Yang mana berkas perkara tersebut yang diajukan ke Kejaksaan Tinggi Sultra, namun jaksa memberikan surat balasan sebanyak empat kali dengan nomor B-/P.3.4/Eoh.1/ 04/2021 yang menyebutkan bahwa berkas perkara dikembalikan ke penyidik dikarenakan belum lengkapnya berkas perkara berupa tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah dan harus menunggu putusan inkrach dalam kasus perdata,” jelasnya.
Menurut Jaswanto, sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1956 dalam pasal 1 yaitu, apa bila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata.
Hadirnya Perma Nomor 1/1956 ini, penyidik Polda Sultra seharusnya tidak boleh melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan dan atau penetapan tersangka sebab objek sengketa identik dengan objek laporan terkait tindak pidana penipuan dan penggelapan.
Sebab dalam proses penyelidikan dan penyidikan berjalan, sambung Juswanto, terlapor melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Kendari dengan nomor gugatan 110/Pdt.G/2020/PN KDI dimenangkan oleh penggugat dalam hal ini Vebrianty A Tajudin dengan putusan Menyatakan bahwa tergugat (Mr. Wang De Zhou) mempunyai utang kepada penggugat seluruhnya sebesar Rp6 miliar.
Atas putusan itu, Mr. Wang De Zhou melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 46/PDT/2021/PT KDI, dan dinyatakan kalah atau pihak Pengadilan Tinggi Sultra menguatkan putusan PN Kendari.
Dari kronologi tersebut, Jaswanto menilai, penyidik sangat prematur dan terkesan terburu-buru dalam menetapkan tersangka. Dan berdasarkan informasi dan bukti yang dihimpun, adanya keganjalan dan dugaan keterlibatan oknum ‘Sang Jenderal’ dalam melakukan intervensi terhadap penyidik yang mengakibatkan ketidak profesional, proporsional, dan transparan dalam menangani perkara ini. Keterlibatan oknum ‘Sang Jenderal’ diketahui berdasarkan pengakuan penyidik yang sempat terekam dalam sebuah percakapan.
Olehnya itu, Jaswanto menyatakan, pihaknya sangat menyambut baik dan mengapresiasi langkah yang diambil Mabes Polri dengan menurunkan tim Irwasum Polri dalam rangka memberikan keadilan hukum kepada masyarakat.
Senada, Wakil Ketua Umum DPP Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) periode 2016-2018, Jumadil juga menyatakan mendukung Polri dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, sekaligus menyelamatkan nama baik intitusi kepolisian dari ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Ini sejalan dengan konsep presisi Polri sebagai program yang diusung oleh Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo,” katanya.
Jumadil menyayangkan ulah oknum penyidik dalam perkara tersebut yang menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan tertentu dan meraup keuntungan dari usaha pribadi terlapor.
“Kami memiliki bukti itu,” kata Jumadil.
Jumadil juga mendesak Kapolri untuk melakukan demosi atau bahkan pemberhentian dengan tidak hormat kepada oknum kepolisian yang terbukti menyalah gunakan kewenangan untuk kepentingan tertentu. Karena hal itu sangat merusak citra kepolisian di mata publik yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
“Kami dari elemen masyarakat merasa bertanggung jawab moral untuk menjaga marwah institusi Polri,” tutup Jumadil.(***)