Oleh: Rajab (Ketua DPD Gerakan Pemuda Marhaenis Sultra)
Penundaan Pemilu 2024, Siapa Untung?
Wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 menunjukan ekspresi wajah dari kelompok oportunis individualistik dalam lingkaran kekuasaan yang ingin memuaskan syahwat politik dan terus menikmati candu kekuasaan. Tidak ada alasan yang substantif untuk mengesahkan gagasan penundaan Pemilu sebagai keputusan politik yang ideal.
Wacana penundaan Pemilu terkesan sebagai akal-akalan elit politik (Ketum PKB, Ketum PAN, & Ketum Golkar) yang telah candu kekuasaan dan itu mencerminkan ada defisit moral dari para pemimpin yang menghendaki hal tersebut. Mereka berdalih Pemilu diundur agar momentum perbaikan ekonomi akibat pandemi tidak hilang dan mengakibatkan sektor ekonomi mengalami penurunan karena terganggu oleh hajatan politik pemilu.
Gagasan penundaan Pemilu yang didasarkan kepentingan jangka pendek harus dijauhi, dihindari dalam alam demokrasi yang berasas Pancasila, yang menjalankan politik berbasis ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan atau politik adilihung (high politic). Penetapan Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 sebagaimana dicapai melalui rapat bersama antara Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum seakan dianggap angin lalu oleh para penyokong gagasan penundaan Pemilu 2024.
Meskipun demikian dalam sejarah Pemilu di Indonesia, penundaan pemilu bukanlah hal baru, namun tentu alasan penundaannya punya dasar konstitusional yang jelas. Pada awalnya setelah UUD 1945 terbentuk, Pemilu sudah direncanakan tahun 1946, tapi gagal karena selain Undang-Undangnya masih dalam proses penyusunan, keamanan pada saat itu juga belum stabil.
Pemilu pertama baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 dengan landasan konstitusional UUDS 1950. Setelah pemilu 1955, seharusnya ada Pemilu 1959, tapi ditunda ke tahun 1960, namun pada tahun 1960 kembali ditunda ke tahun 1962. Lalu tahun 1962 pun harus ditunda lagi ke tahun 1966, namun lagi-lagi Pemilu 1966 ditunda ke tahun 1968. Pemilu tahun 1968 pun tertunda, Pemilu nanti bisa dilaksanakan pada 1971. Jadi, praktik Pemilu lima tahunan itu baru terjadi setelah Pemilu 1971.
Sesungguhnya ada mekanisme konstitusional untuk melakukan penundaan Pemilu 2024 yang dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, mengamandemen UUD 1945. Kedua, bisa dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review di MK bisa menafsirkan makna konstitusi tertentu supaya dimaknai sebagai perkembangan zaman. Misalnya saja, orang bisa saja menggunakan uji ketentuan pasal 167 ayat 1 UU No.7/ 2017 untuk mengetahui boleh tidaknya Pemilu dilaksanakan tidak lima tahun sekali.
Meskipun terbuka kesempatan untuk memuluskan wacana penundaan Pemilu 2024, untuk mewujudkannya bukanlah perkara yang mudah. Apalagi jika menggunakan mekanisme konstitusional dengan mengamandemen UUD 1945. Pasalnya, menunda Pemilu 2024 maka harus ditentukan pula bagaimana nasib Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD yang masa jabatannya habis pada tahun tersebut. Hal itu harus diperjelas dengan menentukan siapa lembaga yang berhak memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD.
Jika hak untuk memperpanjang jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD diberikan kepada MPR maka pasal dalam UUD 1945 yang mengatur soal lembaga tinggi negara ini juga harus diubah. Sebab, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini hanya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 dan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apalagi untuk mengubah pasal dan ayat demi penundaan Pemilu 2024 tanpa persetujuan rakyat, pasti akan menimbulkan kegaduhan politik yang dampaknya dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, perlu juga untuk mempertimbangkan dan mewaspadai masuknya penumpang gelap dalam amandemen ke 5 UUD NRI 1945 dengan motif penundaan Pemilu 2024. Penumpang gelap itu adalah wacana presiden “tiga periode”. Akan muncul perdebatan, jika masa jabatan Presiden/Wakil Presiden diperpanjang selama satu sampai dua tahun itu, artinya sama dengan satu periode. Sehingga Harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang pemimpinnya tidak ada. Presiden Wakil Presiden, DPR, dan DPD tidak lagi berkuasa, masa jabatan berakhir. Hukum harus mengatur bagaimana hukum tata negara mengatur kalau masa jabatannya berakhir. Dengan kondisi seperti demikian, Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dapat mengalami krisis konstitusional.
Penundaan Pemilu 2024 Ditunda akan sangat berbahaya nantinya jika Presiden dan Wakil Presiden mengalami krisis konstitusional. Segala perintah dan kebijakan yang diambil akan rawan mendapatkan gugatan karena jabatan Presiden yang tidak mempunyai legitimasi hukum secara konstitusional. Selain itu, ada hal yang paling mendasar dan sangat penting yang perlu kita renungi bersama, ketika nantinya pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda tanpa alasan konstitusional yang jelas. Ini akan menimbulkan kegaduhan bahkan kerusuhan di berbagai daerah sehingga Negara dalam keadaan darurat. Sementara jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, maka terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Kejadian ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 8 ayat 2, yaitu tentang kekosongan Wakil Presiden. Begitupun dengan pasal 8 ayat 3 UUD 1945 hanya mengatur kekosongan jabatan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, maka yang dapat melaksanakan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Namun, ketika Presiden dan Wakil Presiden mengalami kekosongan jabatan karena masa jabatannya berakhir otomatis masa kerja kementerian-kementerian juga dianggap telah berakhir karena yang mengangkatnya adalah Presiden yang jabatannya juga telah berakhir.
Ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi. Jangan sampai kekosongan hukum tersebut mengakibatkan kudeta konstitusional atau kudeta yang diperintahkan oleh undang-undang. Maka pemerintahan dapat diambil alih oleh militer dalam hal ini Panglima TNI, KSAD, KSAU, KSAL dan pimpinan militer aktif lainya, sama seperti kejadian di Mesir beberapa tahun lalu. Kondisi tersebut bisa saja nantinya mengancam NKRI akibat kerusuhan yang terus terjadi di daerah-daerah.
Menurut penulis, sekarang ini sebaiknya pemerintah segera mencari solusi, bagaimana caranya agar kudeta konstitusional tersebut tidak terjadi dan bagaimana caranya Pemilu 2024 dapat terlaksana dengan demokratis dan konstitusional. Sehingga legitimasi hasilnya dapat diterima oleh semua pihak tanpa harus menunggu timbulnya gejolak di masyarakat yang dapat mengakibatkan Negara dalam keadaan darurat.
Tentunya, kita berharap kejadian yang tersebut di atas tidaklah terjadi sehingga ini dapat memicu semangat para pihak untuk mewujudkan proses Pemilu 2024 yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, serta dapat menciptakan Pemilu yang demokratis dan bermartabat. Demi tercapainya keadilan hukum dan kesejahteraan masyarakat.
Penundaan Pemilu 2024 jika terlaksana justru menghancurkan demokrasi yang telah diperjuangkan tahun 1988 dan telah dibangun sejak era reformasi. Hal ini juga akan berdampak pada memburuknya kontraksi ekonomi nasional. Apabila dikaitkan situasi nasional sedang sulit keadaan sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19, menurut kami, kondisi saat ini jauh lebih baik dengan saat krisis ekonomi 1998, 1999, dan 2008. Jika kita lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah tumbuh pada 3.69 pada 2021, dan 2022 Pemerintah pun menargetkan laju pertumbuhan ekonomi 5,2% (APBN). Ini menggambarkan ekonomi sudah on the track, tak berbeda dengan banyak negara lain.
Walaupun ekonomi terpuruk oleh pandemi, situasinya telah membaik dan posisi ekonomi nasional sedang menuju pertumbuhan yang sustain dan secara berangsur-angsur dimungkinkan akan menuju ekonomi yang lebih kuat pada tahun 2022 ini. Indikatornya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 sudah bertahap membaik dibandingkan tahun sebelumnya.
Melihat trand ekonomi nasional yang sutain, kami berpandangan bahwa motif alasan ekonomi tidak begitu relevan jika dikaitkan dengan penundaan Pemilu, karena ekonomi Indonesia sedang tumbuh dan membaik. Apabila disahkan gagasan penundaan itu justru kontra produktif, justru penundaan Pemilu dapat menciptakan ketidakstabilan politik yang dapat menganggu ekonomi Indonesia. Ketidakstabilan menimbulkan kontraksi ekonomi. Menunda dan merekayasa Pemilu bisa mengganggu ekonomi nasional kelak dikemudian hari. Keberhasilan Indonesia saat melaksanakan Pilkada di 270 daerah pada tahun 2020, maka perlu dipikirkan secara mendalam, apakah penundaan Pemilu 2024 terdapat alasan yang kuat?
Kenaikan PPN, Turunkan Daya Beli?
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Oktober 2021 mengesahkan beberapa perubahan terkait perpajakan di Indonesia. Salah satunya yaitu kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang awalnya adalah 10% dan mulai berlaku 1 April 2022, serta tarif PPN menjadi 12% yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif PPN tersebut dapat menghilangkan momentum kenaikan belanja dan konsumsi masyarakat seperti pada kuartal II-2021 lalu. Peningkatan tarif PPN akan meningkatkan pula harga barang dan berdampak pada daya beli masyarakat kelas bawah sampai menengah akan mengalami penurunan.
PPN termasuk pajak objektif yang dasar pengenaan pajaknya secara adil, tidak melihat status maupun penghasilan subjek pajaknya. Jadi semua masyarakat harus membayar tarif PPN tersebut jika melakukan transaksi barang/jasa kena pajak. Adanya peningkatan tarif PPN masyarakat memiliki dua pilihan yaitu harus mengurangi belanja dan berhemat atau mencari alternatif lain barang yang lebih murah.
Selain berdampak pada masyarakat, kenaikan tarif PPN juga berdampak pada pengusaha. Para pengusaha sedang memulihkan perekonomiannya akibat pandemi COVID-19, namun dengan adanya kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan tersebut. Pengusaha akan berfikir apakah harga barang harus diturunkan guna menyeimbangkan kenaikan PPN? Kemudian apakah stok barang di gudang sekarang bisa laku terjual dengan adanya kenaikan harga pada konsumen akhir?.
Selain itu, peningkatan tarif PPN juga berdampak pada peningkatan biaya operasional perusahaan karena adanya pembelian bahan baku kena pajak. Jika biaya operasional perusahaan naik, maka pastinya harga produk juga akan mengalami kenaikan dan hal tersebut akan berdampak pada konsumen akhir yang harus membayar barang lebih mahal dari biasanya.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 11% akan mengganggu konsumsi, lantaran terjadi bersamaan dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) serta kenaikan harga saat Ramadan dan menjelang Idul fitri. Tarif PPN dari 10% menjadi 11% tersebut pasti memberikan dampak berarti bagi konsumsi masyarakat, di saat bersamaan terjadi fluktuasi kenaikan harga jual beberapa barang kebutuhan pokok, harga BBM dan elpiji serta biaya tol per 1 April, serta memasuki puasa dan jelang Idul fitri nanti.
Fenomena ini berpotensi menimbulkan restrained mode atau menunda konsumsi rumah tangga yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat menengah keatas boleh jadi menghemat atau menyimpan dana dan kelompok sosial ekonomi masyarakat bawah boleh jadi menahan atau tidak mampu belanja.
Kenaikan beberapa kebutuhan pokok masyarakat ini, bila ditambah PPN 11% misalnya untuk minyak goreng yang termasuk bahan pokok yang dikenakan PPN 11% maka potensi bergeraknya harga minyak goreng akan terjadi kembali dan berdampak pada peningkatan Inflasi yang pasti akan meningkat lagi dari bulan-bulan sebelumnya.
Di sisi lain, 11 barang kebutuhan pokok antara lain, beras/gabah, gula, sayur, buah-buahan, kedelai, cabai, garam, susu, telur, jagung, yang sebelumnya dikecualikan dari PPN saat ini melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah diubah dan dijadikan objek PPN, walaupun pengenaan tarif 11 persennya belum diberlakukan mulai 1 April 2022.
Oleh karena barang-barang kebutuhan pokok tersebut telah menjadi objek PPN para pedagang yang menjualnya antara lain di pasar tradisional/pasar rakyat berkewajiban memiliki PKP dengan menerbitkan faktur pajak dan melakukan laporan pajak PPN setiap bulannya, yang berpotensi perlu tenaga administrasi, yang berdampak menambah biaya yang tentunya akan dikenakan pada harga jual barang pokok dan penting kepada konsumen.
Dampak Ekonomi usai Pertamax Naik
PT Pertamina resmi menaikkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Ron 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter dari yang sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter. Kenaikan tersebut mulai berlaku pada 1 April 2022. Adapun kenaikan harga minyak mentah dunia di pasar internasional belakangan ini menjadi salah satu penyebab utama harga BBM non subsidi turut mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Bloomberg, Minggu (10/4/2022) per pukul 10.00 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2022 naik 2,19% ke level US$ 102,78 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2022 naik 2,32% ke level US$ 98,26 per barel.
Kenaikan harga minyak mentah dunia pun turut mengerek harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada Maret 2022 sebesar US$ 113,50 per barel dari yang sebelumnya US$ 95,72 per barel. Kenaikan ini tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 33.K/MG.03/DJM/2022 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Maret 2022 tanggal 1 April 2022. “Harga rata-rata minyak mentah Indonesia untuk bulan Maret 2022 ditetapkan sebesar US$ 113,50 per barel,” demikian bunyi diktum keempat Kepmen tersebut
Naiknya harga Pertamax dikhawatirkan berdampak pada migrasi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM). Masyarakat menengah atas yang tadinya menggunakan Pertamax, kemudian beralih menggunakan Pertalite karena disubsidi oleh pemerintah yang relatif lebih murah harganya. Apa semua kelas menengah tadi akan beralih ke Pertalite? Bisa jadi. Ujungnya menciptakan masalah baru juga di Pertalite dan akan merembet ke beban keuangan pemerintah.
Kembali bicara dampak, kenaikan harga Pertamax juga akan menimbulkan kenaikan inflasi. Kendati dampak inflasi masih di batas aman meskipun saat ini konsumsi Pertamax mencapai 12 persen dari total konsumsi nasional yang proporsi pengguna Pertamax sebagian besar masyarakat menengah ke atas.
Kenaikan Pertamax ini bisa menimbulkan efek domino jika harga BBM lain ikut melambung. Untuk itu pemerintah jangan sampai menaikan harga Pertalite. Sebab, pengguna BBM jenis ini, proporsinya mencapai 73 persen. Sehingga jika Pertalite ikut naik risiko kenaikan inflasi akan besar dan memperburuk daya beli masyarakat.
Saat ini memang, Pertamax pangsa pasarnya khusus untuk masyarakat menengah cenderung ke atas. Namun, yang menjadi masalah, jika Pertamax naik, tapi ketersediaan Premium dan Pertalite terbatas maka pilihan masyarakat mau tidak mau menjadi sangat terbatas, dan akan beralih ke Pertamax, apapun konsekuensinya. Hal tersebut bisa mendorong tingkat inflasi menjadi lebih tinggi. Untuk itu, Pemerintah harus memberikan jaminan ketersediaan Pertalite mencukupi untuk konsumsi kendaraan masyarakat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka kami menyatakan sikap:
- Menolak Penundaan Pemilu 2024 Yang Dapat Menyebabkan Instabilitas Politik & Ekonomi Nasional.
- Mendesak Pemerintah Mengevaluasi Kembali Kebijakan HPP atas kenaikan PPN 11%.
- Mendesak Pemerintah Memberikan Jaminan Ketersediaan BBM Jenis Pertalite Bagi Masyarakat & Subsidi Tertutup BBM Yang Adil.